BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kesenian seni tradisional di Indonesia,
memang unsur dimensi sastra pada drama tepatnya pada teater lebih mengarah pada
bentuk perpaduan tarian dan nyanyian. Unsur cerita yang
disampaikan bukan tidak penting, tetapi dapat dikatakan hanya merupakan ide-ide
pokok saja. Alur bergulir berkat improvisasi dan kepiawaian Pengertian drama sebagai
karya dua dimensi mesti dilepaskan dari kerangka pemikiran bentuk kesenian seni
pertunjukan tradisional di Indonesia. Banyak bentuk pada
pemain melakonkan cerita tersebut. Dengan begitu, unsur seni peran atau seni
pertunjukan memang mendominasi jenis drama tradisional. Bahkan mungkin dapat
dikatakan bahwa drama tradisional dapat disebut seni pertunjukan ansich. Sebaliknya
berhadapan dengan drama modern tidaklah demikian. Cerita ditulis dan menjadi
milik kreativitas individu. Unsur cerita yang dihasilkan dari rekaan imajinatif
pengarang inilah yang mencerminkannya sebagai gendre sastra. Di dalam cerita
akan ditemukan peristiwa, alur dan latar, penokohan, dan perwatakan serta
konflik-konflik kemanusiaan. Untuk menyampaikan semua itu, pengarang memerlukan
sarana bahasa dengan gaya kreativitas individu masing-masing pengarang drama.
Kesemua hal itu merupakan unsur pembentukan cerita rekaan fiksional sebagai
salah satu gendre sastra. Sedangkan pementasan adalah tahap berikut dari hasil
pemahaman terhadap naskah drama. Bentuk drama tradisional sebagai bentuk
kesenian yang disebut drama sangat berbeda dengan pengertian bentuk kesenian
yang berdimensi sastra dan sekaligus seni pertunjukan.
Pembahasan mengenai
drama dalam dimensi sastra dibedakan menjadi beberapa bagian. 1) drama dan
fiksional unsur sastra, 2) drama dan struktur yang membentuknya, 3) pengarang
dan semesta sebagai sumber penciptaan, 4) unsur intrinsik drama. Pembahasan
mengenai drama dalam dimensi sastra diurai lebih lanjut dalam pembahasan jurnal
ini.
1.2 Masalah
Adapun
masalah yang dibahas dalam analisis ini adalah drama dan struktur yang membentuknya serta tentang teknik menganalisis
naskah dalam bentuk karya sastra.
1.3 Tujuan
Berdasarkan dari rumusan masalah di
atas, maka Tujuan yang ingin dicapai dalam analisis ini adalah untuk
mendeskripsikan drama dan struktur yang membentuknya serta
tentang teknik menganalisis naskah dalam bentuk karya sastra.
1.4 Manfaat
Berdasarkan
dari tujuan di atas, maka manfaat yang ingin diperoleh dalam analisis ini adalah sebagai berikut.
1. Penulis dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman
tentang drama dan struktur yang
membentuknya serta tentang teknik menganalisis naskah dalam bentuk karya
sastra.
2. Pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman
tentang drama dan struktur yang
membentuknya serta tentang teknik menganalisis naskah dalam bentuk karya sastra.
3. Sebagai salah satu tugas
matakuliah analsis naskah drama
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Pengertian Drama
Drama merupakan cerita
atau tiruan perilaku manusia yang dipentaskan. Hal itu disebabkan oleh tinjauan
drama secara etimologi. Kata drama berasal dari bahasa Yunani draomai (Haryawan,
1988: 1) yang berarti berbuat, berlaku, bertindak. Jadi, drama berarti
perbuatan atau tindakan. Berdasarkan kenyataan ini drama memiliki unsur seni
pertunjukan yang lebih dominan dibandingkan sebagai gendre sastra.
Batasan drama yang hampir sama ditemukan dalam Morris et al (1964:476).
Kata drama berasal dari bahasa Greek; tegasnya dari kata kerja dran yang
berarti `berbuat` to ack` atau `to do`.. Drama mengutamakan
perbuatan, gerak, yang merupakan inti hakikat setiap karangan yang bersifat
drama. Maka tidak heran kalau Moulton mengatakan bahwa ``drama adalah hidup
yang ditampilkan dengan gerak``, life presented in action. Atau menurut
Verhagen yang mengemukakan bahwa ``drama adalah kesenian melukiskan sifat dan
sikap manusia dengan gerak (Slametmulyana, 1957:176).
Menurut Ferdinan Brunetiere dan Baklhazar, drama adalah kesenian yang
melukiskan sifat dan sikap manusia dan harus melahirkan kehendak manusia dengan
action dan perilaku. Sedangkan pengertian drama menurut Moulton, drama
adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak, drama adalah menyaksikan kehidupan
manusia yang diekspresikan secara langsung.
Dalam the American
Dictionary dijelaskan bahwa drama adalah:
1. Satu
karangan dalam prosa atau puisi yang menyajikan dalam dialog atau pantomime
suatu ceritera yang mengandung konflik atau kontras seorang tokoh; terutama
sekali suatu cerita yang diperuntukan buat dipentaskan di atas panggung; suatu
lakon
2. Cabang
sastra yang mengandung komposisi-komposisi yang sedemikian, sebagai subjek;
seni yang atau representasi dramatic
3. Seni yang menggarap
lakon-lakon mulai sejak penulisan sampai produksi akhir
4. Setiap rangkaian
kejadian yang mengandung hal-hal atau akibat-akibat yang menarik hati secara
dramatic (Barnhart, 1960:365)
Pengertian-pengertian tersebut tidak terlihat perumusan yang mengarahkan
pengertian drama pada dimensi sastranya, melainkan hanya kepada seni lakonnya.
Padahal, meskipun drama ditulis dengan tujuan untuk dipentaskan tidaklah
berarti bahwa semua karya drama yang ditulis pengarang harus dipentaskan. Tanpa
dipentaskan sekalipun, karya drama tetap dapat dipahami, dimengerti dan
dinikmati. Tentulah pemahaman dan penikmatan terhadap drama lebih pada aspek
cerita sebagai ciri gendre sastra dan bukan sebagai seni lakon. Oleh sebab itu,
dengan mengabaikan aspek sastra di dalam drama hanya akan memberikan pemahaman
yang tidak menyeluruh terhadap drama.
Dalam kamus litaratur dunia, kata drama ditafsirkan dalam berbagai
pengertian. Dalam arti yang sangat luas, drama mencakup setiap jenis
pertunjukan tiruan perbuatan, mulai dari produksi hamlet, komedi, pantomime,
ataupun upacara keagamaan orang primitive. Lebih khusus, mengarah pada lakon
yang ditulis untuk dipresentasikan oleh aktor. Lebih menjurus lagi, drama
menunjuk pada lakon realis yang sama sekali tidak bermaksud sebagai keagungan
yang tragis, tetapi tak dapat dimasukkan dalam kategori komedi.
Drama umumnya dimaksudkan untuk memenuhi pengertian yang wajar, yaitu
sesuatu yang harus diinterpretasikan oleh para aktor, dan zaman modern ini,
sesuatu itu lebih merupakan suatu percakapan yang harus diucapkan. Bidang umum
drama biasanya bertingkat, mulai dari tragedi sampai melodrama, dari komedi
sampai farce (Shipley, 1962:105).
Keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa drama adalah:
1. Drama
adalah salah satu cabang karya seni
2. Drama dapat berbentuk
prosa atau puisi
3. Drama
mementingkan dialog, gerak, perbuatan
4. Drama adalah suatu lakon
yang dipentaskan di atas panggung
5. Drama adalah seni yang
menggarap lakon-lakon mulai penulisannya hingga pementasannya
6. Drama
membutuhkan ruang, waktu, dan audiens
7. Drama adalah hidup yang
disajikan dalam gerak
8. Drama adalah sejumlah
kejadian yang memikat damn menarik hati (Tarigan, 2000:72).
Simpulan yang dibuat di atas sudah dapat mewakili batasan drama sebagai
karya sastra dan sebagai seni pertunjukan. Batasan drama yang dikenal selama
ini yang hanya diarahkan pada dimensi seni pertunjukan atau seni lakon,
ternyata memberikan citra yang kurang baik terhadap drama, khususnya bagi
masyarakat Indonesia. Konsepsi bahwa drama adalah peniruan atau
tindakan yang tidak sebenarnya, berpura-pura di atas pentas menghasilkan
idiom-idiom yang menunjukkan bahwa drama bukanlah hal yang serius dan
berwibawa. Pernyataan seperti ``Jangan kamu bersandiwara`` atau ``pemilihan
pemimpin negara hanyalah panggung sandiwara`` menunjukkan bahwa istilah drama
atau sandiwara dipakai untuk ejekan ketidakseriusan. Dengan demikian,
pengertian peniruan harus diluruskan di dalam drama agar tidak
disalalahgunakan oleh masyarakat.
Di samping itu,
pengertian tiruan amatlah bertentangan dengan hakikat sastra sebagai
sebuah kebenaran, keseriusan dan pantas dibicarakan dalam sastra. Drama sebagai
gendre sastra seharusnya dipahami bahwa di dalamnya terkandung nilai-nilai
kebenaran dan keseriusan, bukan sekadar permainan belaka.
2.2 Pengarang dan Semesta sebagai
Sumber Penciptaan
Karya
sastra, drama memang tidak menyalin kenyataan, karena proses kreativitas
pengarang dan unsur imajinasi yang memprosesnya. Namun, begitu tetap saja karya
sastra, drama merupakan permalahan yang mengisyaratkan realitas objektif.
Robert Scholes, seperti yang pernah dikutip Junus (1983: 4) mengatakan bahwa
orang tidak mungkin melihat suatu realitas tanpa interpretasi pribadi yang
mungkin berhubungan dengan imajinasi. Dan orang tidak mungkin berimajinasi tanpa
pengetahuan suatu realitas. Karena itu imajinasi selalu terikat pada realitas,
sedangkan realitas tak mungkin lepas dari imajinasi. Jauh sebelumnya, Plato dan
Aristoteles, meskipun ada perbedaan pendapat di antara keduanya, namun ada
kesepakatan bahwa ada hubungan antara karya sastra dan dunia kenyataan atau
dunia realitas objektif. Antara keduanya, realitas dan imajinasi, meskipun
harus dipahami secara tersendiri, tetapi tetap tidak mungkin keduannya lepas
kaitan sama sekali.
Dalam
menggambarkan dunia fiksionalitas di dalam drama, pengarang mau tidak mau
melakukan kegiatan kreatif. Ia terpaksa mengadakan seleksi
terhadap bahan-bahan keseluruhan dari kenyataan yang tak terhingga.
Bagaimanapun hal-hal yang akan diungkapkan di dalam drama sebagai suatu teks
fiksionalitas mendekati aspek-aspek kenyataan tertentu, walau seluruh sisi
karya drama adalah rekaan. Oleh sebab itu, kenyataan dan rekaan dalam karya
drama sebagai fiksionalitas tidak terpisah secara mutlak karena keduanya saling
membutuhkan dan saling mengisi. Hubungan antara rekaan dan kenyataan di dalam
karya-karya drama merupakan hubungan dialektik dan bertangga; peniruan tak
mungkin tanpa kreasi, dan kreasi tak mungkin tanpa peniruan. Satu hal yang
harus dipahami pada kondisi semacam ini adalah bahwa takaran dan keterkaitan
keduanya berbeda-beda menurut kebudayaannya, jenis fiksionalitasnya, zamannya,
kepribadian pengarangnya, dan lain-lain.
Untuk
memahami keadaan ini, uraian dan perkembangan selanjutnya akan dilandasi
berdasarkan rumusan yang disusun seperti tertera pada bagan 1, yaitu tentang
klasifikasi unsure drama sebagai karya sastra. Pada hakikatnya klasifikasi ini
juga berlaku bagi teks-teks lainnya, termasuk teks-teks naratif – bahkan ini
yang utama – atau juga pada fiksi. Klasifikasi drama menurut bagan 1
tersebut, pada intinya, sebagaimana yang telah dikenal dengan sebutan unsur Ekstrinsik.
Kedua aspek yang membentuk karya dari karya itu sendiri, biasa disebut dengan
istilah unsur Intrinsik.
Meskipun
pembicaraan masih berlandaskan pada kedua istilah itu, harus dipahami bahwa ada
pemahaman lain tentang apa yang dimaksudkan dengan unsur ekstrinsik dan intrinsik
itu. Pemahaman ini terutama menyangkut aspek yang dikandung untuk kedua istilah
yang sudah biasa digunakan tersebut. Sebagai unsur, haruslah diasumsikan bahwa
secara universal unsur-unsur pembangunan karya – baik ekstrinsik maupun
intrinsik – dapat ditemukan setiap karya. Hanya hal-hal yang spesifik saja yang
tidak terdapat pada setiap karya, melainkan hanya dimiliki oleh karya-karya tertentu
saja. Maka unsur ekstrinsik dan unsur
intrinsik sebagai aspek yang universal sudah seharusnya dapat ditemukan pada
setiap karya, atau tidak tetap dapat diidentifikasikan. Asumsi ini tentu tidak
berlebihan, karena jika aspek-aspek yang universal berbeda-beda bentuknya pada
karya sastra-karya sastra yang sejenis, maka serta-merta sebenarnya aspek-aspek
itu tidak dapat lagi disebutkan sebagai aspek yang universal yang dicirikan
sebagai unsur pembangunan karya.
Biasanya
– karena pemahaman yang didapatkan dan referensi sebeumnya – aspek ekstrinsik
dikukuhkan sabagai aspek-aspek sosial budaya yang mempengaruhi isi dan
penciptaan karya sastra. Maka keluarlah rumusan bahwa unsur-unsur ekstrinsik
dari sebuah karya adalah faktor-faktor ekonomi, social, budaya, politik, atau
dengan bahasa yang lebih praktis dan telah lancar disebut oleh lidah rang
Indonesia sebagai IPOLEKSOSBUDHANKAM. Apakah memang sedemikian halnya?
Baiklah
jika memang permasalahan ipoleksosbudhankam dapat dikategorikan sebagai elemen
unsur ekstrinsik sebagaimana yang telah dirumuskan selama ini akan coba dialami
rumusan ini. Akan tetapi sebagai unsur, maka ada keharusan aspek-aspek
ipoleksosbudhankam harus terdapat di dalam setiap karya, atau setidak-tidaknya
dapat diidentifikasi pada karya-karya drama. Akan tetapi bukankah pada
kenyataannya, hanya elemen-elemen tertentu saja dari aspek IPOLEKSOSBUDHANKAM
yang dapat teridentifikasi. Misalnya, pada drama Mahkamah (Asrul Sani),
hanya ditemukan elemen religiositas serta elemen sosial-budaya saja yang dominan.
Ternyata permasalahan IPOLEKSOSBUDHANKAM hanya menyentuh sebagian-sebagian saja
di dalam karya. Oleh sebab itu, berdasarkan kenyataan ini permasalahan yang
selama ini disebut unsur utama ekstrinsik harus diakui hanya merupakan latar
permasalahan di dalam teks-teks fiksionalitas termasuk karya drama tentunya.
Unsur-unsur itu tidak berpengaruh langsung ke dalam proses penciptaan
karya-karya fiksionalitas. Di samping itu hal yang harus dipahami adalah jika
teridentifikasi elemen-elemen seperti yang dimaksudkan, misalnya elemen
religiositas di dalam Mahkamah, hal itu harus disebutkan sebagai
religiositas berdasarkan atau melewati faktor imajinasi Asrul Sani. Masalah
sosial-budaya di dalam Tenung, merupakan masalah sosial-budaya
berdasarkan imajinasi N. Riantiarno. Masalah-masalah tersebut tidak berpengaruh
terhadap drama secara tunggal melainkan masih ada konvensi lain yang terikat
dengan proses penciptaan.
Pemahaman
atas hal ini mengharuskan munculnya pengertian baru, bahwa yang merupakan aspek
utama dari unsur ekstrinsik adalah pengarang sedang aspek pengunjungnya adalah
realitas objektif (kenyataan semesta). Kedua aspek ini (pengarang dan realitas
objektif) ternyata memang amat mempengaruhi penciptaan karya drama.
Pengaruh-pengaruh lain yang memungkinkan munculnya karya drama harus melewati
pengarang terlebih dahulu. Pengaranglah yang mengolah semuannya. Aspek utama
dalam unsur ekstrinsik ini dapat dikatakan sebagai semua yang berkaitan dengan
pemberian makna yang tertuang melalui bahasa sedangkan aspek penunjang adalah
segala upaya yang digunakan dalam memanfaatkan bahasa. Faktor-faktor seperti
sosial-budaya, ekonomi, politik, agama, hokum, pendidikan, dan lain-lain pada
dasarnya tidak berfungsi jika pengarang tidak menganggapnya sebagai sesuatu
yang penting. Apakah pembangunan fisik yang drastis selama pemerintahan Orde
Baru mendapat tempat di dalam teks-teks drama? Apakah kemapaman stabilitas dari
sudut politik mendapat perhatian besar di dalam teks-teks drama? Sampai sejauh
manakah kemajuan teknologi IPTN direkam teks-teks drama? Atau prestasi-pestasi
olah raga, kerukunan hidup beragama, serta hal-hal lainnya mendapat perhatian
di dalam drama? Sejauh permasalahan itu oleh pengarang tidak dianggap sebagai
sesuatu yang “penting”, misalnya sebagai sesuatu yang menyalahi norma-norma dan
menyentuh pandangan hidup yang dipegangnya, masalah-masalah tersebut tidak akan
pernah terangkat ke dalam drama dengan demikian, sekali lagi, unsur utama yang
paling dominan dari ekstrinsik drama adalah pengarang dan bukan masalah-masalah
IPOLEKSOSBUDHANKAM, agama, pendidikan, dan lain-lain.
Di
dalam realitas objektif (kenyataan semesta) di dalam kaitannya dengan pola
kehidupan masyarakat, akan ditemukan norma-norma, ideologi, tata nilai,
konvensi bahasa, dan konvensi sastra. Aspek-aspek tersebut mungkin berbeda-beda
pada tiap-tiap masyarakat, tiap-tiap zaman, dan tiap-tiap tradisi masyarakat
pendukungnya. Yang tidak bisa dibantah tentunya setiap masyarakat tentu
mempunyai norma-norma yang diakui bersama, baik secara hokum, adat atau
kesepakatan tertentu, dan juga berasal dari agama. Aspek-aspek realitas
objektif semacam ini bereaksi pada diri pengarang. Jika pengarang berpendapat
aspek-aspek tersebut menarik untuk dipermasalahkannya maka ia akan menulis.
Ketika ia menulis, realitas objektif yang menarik perhatiannya itu hanya
dijadikan sumber penulisan. Faktor kreativitas yang dilandasi imajinasi,
keintelektualan pengarang mempengaruhi dunia ekaan yang diciptakan.
Aspek-aspek
yang telah disebutkan dan dibicarakan di atas, jika diidentifikasi pada
tiap-tiap karya drama maka aspek-aspek tersebut akan dapat ditemukan.
Norma-norma yang diperbincangkan pada tiap-tiap karya mungkin berbeda-beda. Bisa
saja teks yang satu mempermasalahkan norma-norma keagamaan, teks yang lain
membicarakan norma-norma sosial-budaya, atau hal-hal lainnya. Akan
tetapi, yang jelas setiap karya drama mempermasalahkan norma-norma tertentu.
Demikian juga aspek-aspek ekstrinsik dari unsur realitas objektif yang lain,
misalnya masalah ideologi, tata nilai, serta konvensi-konvensi tertentu. Setiap
karya dapat diidentifikasi adanya aspek-aspek tertentu.
Pengarang
sebagai manusia yang “berkuasa” atas karya dapat memperlakukan seperti apa
tokoh-tokoh yang diinginkannya, latar yang disukai, serta konflik kemanusiaan
yang menurutnya menarik. Ke semua itu berhasil disusun karena beberapa faktor
yang dimiliki oleh pengarang. Faktor-faktor yang dimaksudkan itu adalah faktor
sensitivitas (kepekaan), imajinasi, intelektualitas, serta pandangan hidupnya.
Dengan kesensitivitasan atau kepekaannya, pengarang menjadi jeli untuk
menangkap, mnginventarisasi aspek-aspek realitas objektif yang pantas
diperbincangkan. Namun begitu
kesensitivitasan pengarang amat berkaitan erat dengan panddangan hidupnya.
Meskipun
Putu Wijaya dan N. Riantiarno sama-sama interes pada permasalahan
sosial-politik, sama-sama punya kepekaan akan hal ini, tetapi pengekspresian
karya keduanya tidak akan sama. Salah satu sebabnya karena pandangan hidup
serta orientasi keduanya berbeda. Di samping hal-hal lain yang dimiliki
keduanya bebeda, yaitu imajinasi dan keintelektualan. Semakin terasah, semakin
tajam kepekaan pengarang pada aspek realitas objektif. Semakin terlatih,
semakin berkembang imajinasi pengarang untuk membuat dunia rekaannya. Semakin
menarik dunia rekaan itu, jika keintelektualan pengarang ikut berperan. Dengan
begitu karya ciptaannyaakan ikut pula memancing unsur keintelektualan pembaca.
Meskipun pengarang menggunakan kemampuan imajinasi dan keintelektualannya,
dalam membentuk dunia baru, dunia rekaannya, ia akan tetap menyadarkan “dunia
barunya” itu pada realitas objektif. Jika pengarang melalui karyanya berhasil
menciptakan norma-norma baru, ideology yang aneh, atau tata nilai yang asing,
kesemuanya itu tetap harus disampaikannya melalui konvensi-konvensi yang telah
dikenal masyarakat pembaca, misalnya konvensi budaya, konvensi bahasa, dan
konvensi sastra. Pengarang tidak mungkin menampilkan sesuatu yang
benar-benar baru sama. Karena jika tak satu konvensi pun yang dapat menyebabkan
pembaca mampu menghubungkan dunia pembaca dengan dunia pengarang maka karya
drama yang diciptakan pengarang menjadi tidak berguna sama sekali, karena karya
tersebut tidak bisa dipahami. Oleh sebab itu, sejauh dan sebaik apa pun
imajinasi terdapat di dalam karya drama, karya itu akan tetap memberikan
“celah” untuk dimasuki oleh pembaca. Lihat, misalnya drama Rumah Tak Beratap
dan Langit dekat dan Langit Sehat (Akhudiat), meskipun situasi bahasa dari
dialog-dialog drama ini tidak mengikuti pola situasi dialog. Masing-masing
tokoh dapat berbicara “seenaknya” dengan bahan yang tidak sama bahkan dengan
bahasa yang bermacam-macam, mulai dari bahasa Jawa sehari-hari, bahasa
Indonesia, bahasa Inggris, sampai ke bahasa Prancis juga. Masing-masing bahasa
dipergunakan dengan cara seenaknya pula. Meskipun kelihatan “kacau” ia tetap
memberikan kemungkinan untuk dipahami oleh pembaca. Dari segi konvensi
penulisan drama, mungkin Akhudiat terlihat tidak mematuhi sepenuhnya, namun di
dalam masyarakat pada kehidupan sehari-hari dapat ditemukan pola semacam itu.
Dengan memahami pula kehidupan masyarakat yang serba kacau tidak hanya dalam
pemakaian bahasa, tetapi juga dalam hajat hidup yang lebih urgen, maka drama
Akhudiat ini dapat dimengerti. Drama Tenggelam Bulan Terbit Bulan
(Noorca Marendra Massardi) dengan cara tertentu mencoba mengkomunikasikan
persoalan kelahiran, kematian, nasib, dan takdir dengan cara yang tidak lazim.
Lewat tokoh Tembor, Noorca berbicara tentang sesuatu yang abstraksi
dengan tokoh Tembor yang “tidak pernah bergeser” dari tempat ia mulai.
Memang hal semacam ini cukup rumit dipahami. Namun dalam realitas objektif
apakah persoalan-persoalan mudah dipahami? Sama saja. Oleh sebab itu, tetap
akan ada penghubung yang dapat dipergunakan pembaca dalam usaha memahami dunia
rekaan yang diciptakan pengarang melalui karya drama.
Imajinasi
sebagai unsur penting yang dimiliki pengarang sifatnya begitu individualistik.
Sesuatu karya yang dihasilkan melalui proses imajinasi yang intensif pasti akan
berbeda dari karya lainnya yang dihasilkan oleh pengarang lain, bahkan oleh
pengarang yang sama, apalagi pada orang yang berbeda. Oleh sebab itu, hanya
pada karya-karya drama yang rendah kadar imajinasinya sajalah kemungkinan
ditemukan adanya kesamaan atau kemiripan. Menurut Umar Junus (1983: 7)
karya-karya yang kurang menggunakan imajinasi akan cenderung bersifat stereotype.
Terjadi hal yang sebaliknya pada karya-karya yang diciptakan dengan menggunakan
imajinasi semaksimal mungkin. Karya-karya yang dibangun dengan imajinasi yang
sedemikian rupa akan membentuk dan mempunyai dunianya sendiri. Dunia tersendiri
yang dibentuk oleh karya drama, menyebabkan karya tersebut dipahami menurut
dunianya oleh pembacanya.
2.3 Unsur-Unsur Intrinsik Drama
Dibandingkan
dengan fiksi, unsur intrinsik drama dapat dikatakan “kurang sempurna”. Di dalam
drama tidak ditemukan adanya unsur pencerita, sebagaimana terdapat di dalam
fiksi. Alur di dalam drama lebih dapat ditelusuri melalui motif yang merupakan
alasan untuk munculnya suatu peristiwa. Motif di dalam drama menjadi penting,
karena aspek ini sudah menjadi perhatian pengarang sewaktu karya drama ditulis.
Meskipun dalam menulis pengarang dapat mempergunakan kebebasan daya ciptanya
yang dimilikinya, ia tetap harus memikirkan kemungkinan dapat terjadinya laku
(action) di pentas. Faktor laku merupakan wujud lakon, dan
motiflah yang merupakan landasannya. Aspek inilah yang menyebabkan mengapa
drama mempunyai sedikit “keterbatasan” dibandingkan fiksi.
Di dalam fiksi,
unsur pemaparan dan pembeberan merupakan sarana ampuh pengarang dalam
mengembangkan daya imajinasinya dalam membentuk satuan-satuan peristiwa. Dengan
begitu, alur di dalam fiksi terasa lebih mengalir, menyentuh wawasan dan
dataran yang lebih tak terbatas jika dibandingkan dengan karya drama. Adanya
unsur pemaparan dan pembeberan, menyebabkan fiksi dapat dengan mudah
menjelaskan hal-hal yang abstraksi yang terjadi pada diri tokoh.
Masalah-masalah yang menyangkut pikiran, perasaan, ide-ide, dan konsep para
tokoh dapat dengan mudah didapat pembaca. Ini semua karena adanya pemaparan. Di
dalam drama hal semacam ini tidak akan terjadi, kecuali para tokoh “berbicara
dan memaparkan” sendiri secara langsung kepada pembaca atau penonton.
Namun begitu,
tidaklah berarti bahwa dengan hilangnya unsur pemaparan dan pembeberan, drama
menjadi karya yang terbatas sama sekali. Justru pada aspek ini jugalah letak
kekuatan karya drama. Membandingkan unsur intrinsik drama dengan unsur
intrinsik fiksi buka bertujuan untuk melihat kelemahan dan keunggulan
masing-masing unsur, melainkan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
menyeluruh. Bukanlah telah disadari bahwa antara drama dan fiksi – cerpen dan
novel adalah karya sastra dengan genre yang berbeda.
1.
Tokoh, Peran dan Karakter
Dalam hal penokohan, di dalamnya termasuk hal-hal yang
berkaitan dengan penamaan, pemeranan, keadaan fisik tokoh (aspek fisikologis),
keadaan sosial tokoh (aspek sosiologi), serta karakter tokoh. Hal-hal yang
termasuk di dalam permasalahan penokohan ini saling berhubungan dalam upaya
membangun permasalahan-permasalahan atau konflik-konflik kemanusiaan yang
merupakan persyaratan utama drama. Bahkan di dalam drama, unsur penokohan
merupakan aspek penting. Selain melalui aspek inilah aspek-aspek lain di dalam
drama dimungkinkan berkembang, unsur penokohan di dalam drama terkesan lebih
tegas dan jelas pengungkapannya dibandingkan dengan fiksi.
Tokoh-tokoh yang telah “dipilih” oleh pengarangnya
biasanya telah “dipersiapkan” sedemikian rupa. Memang sewaktu karya drama
ditulis kemungkinan untuk melencengnya penggambaran tokoh yang telah
“dipersiapkan” itu dapat saja terjadi. Akan tetapi, bagaimanapun pengarang
tetap akan menjaga agar “keluar jalurnya” sang tokoh tetap tidak terlalu jauh.
Bukankah tokoh yang dihadirkan harus “memiliki beban” dalam membangun
permasalahan-permasalahan atau konflik-konflik di dalam drama. Jika pengarang
membiarkan sang tokoh terlalu mandiri dan bergerak sebebasnya, maka obsesi
tertentu yang ada di dalam diri pengarang sewaktu mempersiapkan karya drama
akan buyar dan akan digantikan dengan obsesi yang lain. Memang ada saja
pengarang yang berkomentar bahwa ia dalam mengarang membiarkan tokoh-tokohnya
mandiri dan bebas menentukan nasibnya, tetapi hal semacam ini harus diterima
sebagai sesuatu yang bersifat informasi saja. Bagaimanapun peneliti dapat
menemukan jawaban apakah tokoh-tokoh drama dibiarkan bebas mandiri oleh
pengarangnya atau tetap dipersiapkan untuk memikul beban tertentu. Penemuan itu
akan didapatkan di dalam naskah drama. Teks-teks drama akan membuka rahasia
tentang hal ini, dan bukan pengarangnya.
Dalam keyakinan bahwa tokoh-tokoh di dalam drama telah
“dipersiapkan” sebelumnya, maka hal-hal yang melekat pada seorang tokoh dapat
dijadikan sumber data atau sinyal informasi guna membuka selubung makna drama
secara keseluruhan. Faktor-faktor yang
dimaksudkan melekat langsung pada tokoh itu adalah antara lain persoalan
penamaan, peran, keadaan fisik, keadaan psikis, serta karakternya. Kesimpulan
ini diambil berdasarkan asumsi bahwa aspek-aspek penokohan ini akan saling
berhubungan dan berkaitan dalam upaya membentuk dan membangun permasalahan dan
konflik di dalam drama. Tidak
mungkin aspek-aspek ini lepas-lepas sendiri dan tidak saling berkaitan.
Pemilihan aspek
penamaan untuk tokoh diniatkan sejak semula oleh pengarang untuk mewakili
permasalahan dan konflik yang hendak dikemukakan. Oleh sebab itu, dalam upaya
penemuan permasalahan drama, pembaca perlu mempertimbangkan unsur penamaan
tokoh. Setidak-tidaknya yang harus disadari pembaca adalah, faktor nama
merupakan suatu subsistem dari sistem yang lebih besar. Menurut Junus (1983:9),
sistem nama tokoh biasanya dianggap sebagai sesuatu yang periferial bukan
sesuatu yang inti, sehingga tidak pernah mendapat perhatian. Padahal sistem nama
tokoh di dalam teks-teks fiksionalitas merupakan subsistem dari sistem-sistem
lain yang lebih besar.
Di dalam aspek
penamaan tokoh, permasalahan gelar yang diberikan kepada tokoh layak
diperhitungkan karena termasuk kategori penamaan pula. Nama gelar, nama alias,
atau nama olok-olokan dari tokoh dapat memberikan sinyal bagi pemahaman
permasalahan dan konflik didalam drama. Nama-nama seperti Haji Anwar, Guru
Syaiful, Raden Mas Suryo Kencono, Mbah Slamet, Wak Katok, Neng Cicih, Datuh
Meringgih, Kapten Ponco atau Oom Robert. Bisa juga tercakup dalam hal ini
adalah panggilan-panggilan tertentu yang menunjukkan keadaan fisik tokoh
misalnya Pak Hitam, Oom Buncit, Paman Ompong, Babah Sipit dan lain-lain yang
sejenis.
Karena nama tokoh
merupakan suatu sistem di dalam drama, ia dapat membatasi, mengikat atau
mempengaruhi ruang gerak dan perilaku, sikap, peran para tokoh dalam melakukan
motif-motif untuk membangun peristiwa, kejadian, serta konflik-konflik. Akan
sulit untuk membiarkan tokoh berbuat seenaknya tanpa mengaitkan dengan faktor
nama. Mungkin karena menyadari hal inilah, drama-drama Putu Wijaya seringkali
hadir tanpa nama-nama tokoh. Tokoh-tokoh di dalam drama Putu Wijaya hanya
diberikan penanda tertentu saja, misalnya seseorang pelayan, petugas I, petugas
II, dan lain-lain. Akibatnya tokoh-tokoh yang tidak terkait dengan faktor
penamaan tersebut dapat bergerak lebih besar. Tokoh-tokoh drama Putu Bisa
berbuat “seenaknya”, lebih bebas, bahkan karakternya dapat melompat-melompat
dari suatu situasi ke situasi lainnya.
Satu hal lagi,
nama-nama tokoh akan menunjukkan latar tertentu di dalam drama. Warna
kedaerahan akan muncul pula dari sistem penamaan pada tokoh-tokoh drama. Jika
mendengar nama-nama seperti Sutan Duano, Puti Ambon Sori, atau Ajo Sidi, tentu
dengan sendirinya memberikan warna latar Minangkabau. Hal ini disebabkan karena
nama-nama tersebut merupakan ciri khas etnis Minangkabau. Akan terasa
janggal jika nama-nama tersebut ternyata
dimiliki oleh tokoh-tokoh cerita yang menggambarkan masyarakat etnis Sunda,
atau etnis lainnya. Oleh sebab itu, pemilihan nama pada tokoh,, seperti yang
dikatakan semula, mau tidak mau harus “dipersiapkan” oleh pengarang.
Tokoh-tokoh yang
dihadirkan pengarang, untuk dapat membangun persoalan dan menciptakan
konflik-konflik, biasanya melalui peran-peran tertentu yang harus mereka
lakukan. Jarang tokoh mempunyai peran tunggal, biasanya tergantung dengan
interaksi sosial yang dilakukannya. Perubahan lawan interaksi sosial akan menyebabkan
perubahannya peran seorang tokoh. Setiap
peran umumnya selalu hadir berpasangan dengan peran lain dalam membentuk suatu
permasalahan konflik. Setiap permasalahan atau konflik. Namun beberapa peran
itu, tetap hadir dalam dua kelompok peran yang berpasangan.
Seorang tokoh,
karena situasi serta lawan interaksi yang berbeda mungkin akan tampil akan
tampil dalam peran yang berbeda akan menyebabkan munculnya kondisi karakter
yang berbeda-beda. Dari sekian banyak kemungkinan, menurut Robert Scholes
(dalam Junus, 1988; dan Elan, 1980) paling tidak dirumuskan sejumlah enam
kedudukan peran para tokoh di dalam drama yaitu :
a.
Peran Lion yang dilambangkan
dengan, yaitu tokoh atau tokoh-tokoh yang dapat dikategorikan sebagai tokoh
pembawa ide. Mungkin dengan istilah lain dapat disebut sebagai tokoh
protagonist. Tokoh ini memperjuangkan sesuatu, yang mungkin berupa kebenaran,
cinta, atau juga wanita.
b.
Peran Mars yang dilambangkan
dengan, yaitu tokoh yang menentang dan menghalang-halangi perjuangan peran Lion dalam mencapai keinginan dan tujuan yang
diperjuangkan tokoh peran Lion tersebut. Biasanya peran Mars juga
berkeinginan untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh peran Lion.
c.
Peran Sun yang dilambangkan
dengan O, yaitu tokoh atau apa pun yang menjadi sasaran perjuangan Lion
dan juga yang ingin mendapatkan Mars.
d.
Peran Earth yang dilambangkan
dengan, yang tokoh atau apa pun yang menerima hasil perjuangan Lion atau
Mars. Jika Lion berjuang sendiri untuk dirinya sendiri, maka Lion
sekaligus berperan sebagai Earth.
e. Peran
Scale yang dilambangkan dengan ,
yaitu peran yang menghakimi, memutuskan, menengahi, atau juga menyelesaikan
konflik dan permasalahan yang terjadi di drama. Biasanya
pertentangan antara Lion dan Mars.
f.
Peran Moon yang dilambangkan
dengan , yaitu peran yang bertugas
sebagai penolong. Mungkin saja Moon bertugas menolong Lion, tetapi
juga akan ada Moon yang menolong Mars.
Berdasarkan deskripsi tersebut maka
dapat dirumuskan kedudukan peran tokoh-tokoh drama Mahkamah sebagai
berikut :
Mayor Syaiful
Bahri = Lion
Kapten Anwar = Mars
Murni
= Sun
Mayor Syaiful Bahri
= Earth
Kapten Anwar
= Earth
Somad, dan lain-lain = Moon
Citra I, dan Citra II
= Scale
Perumusan kedudukan peran tersebut dapat dilakukan
dengan mengamati, mengindentifikasi, dan merumuskan tindakan-tindakan,
sebab-sebab mengapa suatu tindakan dilakukan oleh tokoh.
Keadaan fisik tokoh (fisiologi) dapat pula memberikan
tuntunan bagi pemahaman drama. Persoalannya, keadaan fisik biasanya berkaitan
dengan peran tokoh. Seorang yang berperan sebagai tukang pukul tidak mungkin
berfisik kurus kerempeng. Tokoh gadis yang diperebutkan, biasanya tidak
berwajah jelek dan memiliki cacat tubuh, melainkan cantik dan menarik.
Pencatatan data fisik tokoh dapat membantu interpretasi pembaca dalam merumuskan
pemahaman terhadap teks drama.
Penokohan
drama-drama modern biasanya tidak statis, melainkan dinamis. Hanya sistem
penamaan saja yang sedikit bertahap atau relatif tetap, sedangkan aspek-aspek
lainnya selalu berubah. Sehingga keseluruhan aspek tersebut menggambarkan
karakter tokoh yang mapan, sejak alur mulai bergulir sampai cerita harus
berakhir. Hanya pada tradisi masyarakat yang terkungkung saja penggambaran
tokoh sastranya yang bersifat kaku dan statis. Pada sastra lama, tokoh Rama
misalnya, sejak pembaca mengetahui tokoh tidak pernah menemukan karakter yang
cacat, sementara tokoh Rahwana tidak pula ditemukan sisi baiknya. Penggambaran
karakter hanya bersifat hitam putih.
Meskipun penokohan
drama-drama modern lebih dinamis, namun tetap ada keterkaitan antara keadaan
fisik tokoh dan keadaan psikisnya. Kedua data ini akan membantu pembaca dalam
mendapatkan gambaran secara keseluruhan karakter tokoh. Bagi para actor,
pemahaman akan hal ini membantu pula dalam memerankan tokoh-tokoh tersebut di
pentas.
Permasalahan dan
konflik kemanusiaan di dalam drama tidak akan muncul melalui tokoh, tetapi dari
pertemuan dua peran yang berpasangan atau yang berlawanan. Jadi pada prinsipnya
seorang tokoh akan memunculkan beberapa permasalahan sesuai dengan peran yang
“dibebankan” pengarang kepadanya. Dalam menjalankan fungsinya sebagai peran
tertentu, tokoh dituntut untuk menciptakan kesesuaian karakter dengan peran
itu. Amat tidak logis jika karakter tokoh selalu monoton dan seragam untuk
peran yang berbeda-beda. Dengan menghadirkan tindakan-tindakan dan perilaku
yang berulang dan di “pola” dengan cara tertentu, pengarang dapat memberikan
sinyal, tokoh, peran dan karakter seperti apa yang sedang ia tampilkan kepada
pembacanya.
2.
Motif, Konflik, Peristiwa
dan Alur
Permasalahan-permasalahan drama, di samping dapat
dibangun melalui pertemuan dua tokoh atau sekelompok tokoh yang memerankan
peran yang berbeda, juga dapat dibangun melalui laku. Pada segi pementasan, unsur laku terasa
lebih jelas dan konkret, dibandingkan pada teksnya. Hal ini menjadi jelas
karena unsur laku di atas pentas merupakan tindakan pemvisualisasian.
Laku dapat
dipahami sebagai gerakan atau tindakan tokoh-tokoh. Gerakan atau
tindakan-tindakan para tokoh berikutnya dapat membentuk suatu peristiwa. Pada
hakikatnya pun, gerakan atau tindakan para tokoh itu sendiri merupakan suatu
kejadian yang dapat dikaitkan telah berlangsung jika seseorang tokoh atau
sekelompok tokoh melakukan kegiatan pada suatu tempat dan pada suatu waktu
tertentu.
Peristiwa di dalam
drama merupakan salah satu unsurnya. Sulitlah dibayangkan sebuah karya
fiksional disampaikan tanpa adanya peristiwa atau kejadian. Dalam memahami
peristiwa didalam drama harus disadari
sepenuhnya bahwa peristiwa tidaklah
terjadi begitu saja, secara tiba-tiba atau serta merta. Setiap peristiwa yang
berlaku atau yang terjadi selalu mempunyai hubungan sebab akibat. Sesuatu
peristiwa akan terjadi jika disebabkan oleh sesuatu hal atau hal yang menjadi
alasan mengapa peristiwa itu terjadi. Di samping itu, setiap peristiwa yang
berlaku akan menimbulkan akibat tertentu yang mungkin saja berupa munculnya
peristiwa-peristiwa baru.
Usaha memahami
drama sebagai genre sastra mengharuskan pembaca memahami peristiwa-peristiwa
yang terdapat didalam teks drama, sebab munculnya peristiwa, serta akibat dari
peristiwa tersebut. Peristiwa-peristiwa
di dalam drama pada akhirnya merupakan suatu totalitas, namun begitu
hakikatnya, peristiwa besar itu dibangun oleh satuan-satuan peristiwa yang
lebih kecil.
Peristiwa di dalam
drama terjadi karena didukung oleh tokoh, tetapi persoalannya bukan tokoh itu
sendiri, melainkan apa yang dilakukannya. Oleh karena itu, usaha untuk memahami
peristiwa di dalam drama adalah dengan memperhatikan tindakan-tindakan dan
perbuatan para tokoh. Akan tetapi harus disadari pula bahwa pengamatan atas
satu satuan peristiwa tidaklah sesederhana itu masih ada kaitan yang erat
antara tindakan atau perubahan para tokoh itu dengan tokoh sebagai pengertian
pelaku di dalam drama, dengan tempat dan ruang, serta dengan persoalan yang
berhubungan dengan waktu atau kala. Dari kaitan antara hal-hal yang telah
disebutkan itu, dapat disimpulkan bahwa satuan-satuan peristiwa harus mempunyai
kesatuan pelaku, tindakan atau perbuatan, tempat serta waktu tertentu. Oleh
karena itu, dapat ditarik benang merahnya bahwa perubahan pelaku (para tokoh;
seorang atau sekelompok orang) meskipun melakukan tindakan atau perbuatan yang
sama, ditempat dan waktu yang sama, sudah merupakan peristiwa yang lain dan
tidak dapat disatukan dengan peristiwa sebelumnya. Dengan begitu, meskipun
pelaku masih tetap sama (seorang atau
sekelompok orang) tetapi melakukan tindakan atau perbuatan yang berbeda, di
tempat dan waktu yang sama, harus dirumuskan bahwa peristiwa yang baru telah
terjadi. Jika demikian persoalannya telah menjadi jelaslah bahwa sebuah
peristiwa ditentukan oleh empat unsur secara simultan yakni pelaku, tindakan,
tempat serta waktu. Untuk mudahnya, dalam usaha menemukan satuan-satuan
peristiwa didalam drama, pembaca dapat mengajukan pertanyaan tentang siapa;
mengapa; dimana dan kapan atau bilamana ?. Dari data tersebut
pembaca mengetahui bahwa sudah lengkapilah keempat informasi tentang
unsur-unsur yang dipertanyakan pembaca untuk merumuskan sebuah satuan
peristiwa.
Seperti yang
disampaikan pada awal sub bab pembicaraan ini, suatu tindakan, perbuatan atau
laku tidak mungkin dilakukan begitu saja dan tiba-tiba oleh para tokoh. Harus
ada alasan (logika imajinatif) tentang mengapa laku tersebut dilakukan oleh
tokoh. Alasan tentang mengapa suatu laku atau juga suatu peristiwa terjadi
dapat disebutkan dengan istilah motif. Karena laku merupakan
perwujudan drama, maka laku atau satuan peristiwa harus dijelaskan
melalui kerangka unsur dan totalitas mengapa hal tersebut terjadi. Oleh sebab
itu, motif merupakan dasar laku,
keseluruhan stimulus dinamis yang menjadi sebab pelaku (seorang atau sekelompok
orang) mengadakan respons-respons. Menurut Oemarjati (1971:
63) motif dapat muncul dari berbagai sumber, antara lain:
a)
Kecenderungan-kecenderungan
dasar (basic instinct) yang dimiliki manusia, misalnya kecenderungan
untuk dikenal, untuk memperoleh suatu pengalaman tertentu, untuk pemuasan
libido tertentu.
b)
Situasi yang melingkupi manusia, yaitu
keadaan fisik dan keadaan sosial.
c)
Interaksi
sosial yaitu rangsangan yang ditimbulkan karena hubungan sesama manusia.
d)
Watak manusia itu sendiri, sifat-sifat
intelektualnya, emosionalnya, persepsi dan resepsinya, dan ekspresif serta
sosial kulturalnya.
Dengan mengetahui
motif, maka pembaca mendapat dasar yang lebih kuat dalam menginterpretasikan
suatu laku atau suatu peristiwa dalam drama.
Mungkin saja suatu tindakan yang secara universal dilakukan oleh seorang
tokoh dapat dinilai tidak baik, tetapi jika motif yang mendasari tindakan tokoh
tersebut beralasan, maka mungkin tindakan tokoh yang secara universal itu
salah, oleh pembaca dapat dibenarkan, membunuh merupakan tindakan yang tidak
benar bahkan salah. Namun dengan motif tertentu yang beralasan, membunuh
mungkin dapat diinterprestasikan sebaliknya.
Rumusan mengenai
sebuah peristiwa sekaligus motif dari peristiwa tersebut bisa didapat melalui
pembacaan satu ujaran (dialog) dari satu tokoh. Tentu saja tidak menutup
kemungkinan bahwa rumusan peristiwa itu didapatkan dari pembacaan terhadap
beberapa dialog dari seorang tokoh atau dari beberapa orang tokoh. Namun harus diingat juga bahwa
pada drama-drama didapatkan pula hanya dari sebuah perkataan saja. Informasi
yang digali dari teks drama untuk menyusun sebuah peristiwa harus juga memperhatikan
kespesifikan teks dramanya.
Jika sebuah teks
drama dibaca dengan cermat, maka akan ditemukanlah berpuluh-puluh peristiwa,
bahkan mungkin saja sebuah teks drama dibangun oleh ratusan peristiwa. Agar
pembaca tidak mengalami kesulitan untuk memahami peristiwa-peristiwa yang
membentuk dan membangun drama itu, pembaca haruslah menyadari bahwa peristiwa
yang membangun drama atau tidak sama fungsinya meskipun beberapa dapat pula
bersamaan fungsinya. Pembaca kemungkinan akan menemukan adanya peristiwa yang
berulang-ulang tersebut pula bersamaan fungsinya. Pembaca kemungkinan akan
menemukan adanya peristiwa yang berulang-ulang dalam satu teks drama. Peristiwa
yang berulang-ulang tersebut dapat dikelompokkan sebagai peristiwa yang
sekelompok. Meskipun di sisi lain pembaca harus punya perhatian tertentu
mengapa peristiwa itu mendapat prioritas diulang-ulang oleh pengarang.
Jika sebuah
peristiwa atau beberapa peristiwa yang dapat disatukelompokkan itu
dihubung-hubungkan, maka akan terlihatlah susunan peristiwa secara kausalitas
(hubungan sebab-akibat). Sebuah peristiwa akan menjadi penyebab atau akibat
dari peristiwa yang lain atau sekelompok peristiwa yang lain. Pada akhirnya
pembaca akan menemukan sebuah peristiwa atau sekelompok peristiwa akan
berhubungan semuanya tanpa ada peristiwa yang terlepas. Hubungan antara satu
peristiwa atau sekelompok peristiwa dengan peristiwa yang lain disebut sebagai alur
atau plot. Alur sebagai rangkaian peristiwa-peristiwa atau sekelompok
peristiwa yang saling berhubungan secara kausalitas akan menunjukkan kaitan
sebab-akibat. Jika hubungan kausalitas peristiwa terputus dengan peristiwa yang
lain maka dapat dikatakan bahwa alur tersebut kurang baik. Alur yang baik
adalah alur yang memiliki kausalitas sesama peristiwa yang ada di dalam sebuah
(teks) drama.
Karakteristik alur
drama, jika ingin membedakannya, mungkin dapat dikategorikan dengan istilah
alur konvensional dan alur non konvensional. Persoalannya, terdapat perbedaan
penyajian alur oleh pengarang-pengarang drama Indonesia pada tahun-tahun awal
dengan drama-drama yang lebih mutakhir. Berdasarkan kenyataan ini tidaklah
dapat divonis bahwa alur itu selalu dimulai dari perkenalan, peristiwa bergerak
ke konflik dan kemudian menurun dalam arti kata penyelesaian. Pengertian alur
konvensional disini adalah jika peristiwa yang disajikan lebih dahulu selalu
menjadi penyebab munculnya peristiwa yang hadir sesudahnya. Peristiwa yang
muncul kemudian selalu menjadi akibat dari peristiwa yang terjadi lebih dahulu
menjadi akibat dari peristiwa yang terjadi sesudahnya, sedangkan yang
dimaksudkan dengan alur yang nonkonvensional adalah alur yang dibentuk
berdasarkan rangkaian peristiwa yang tidak berdasarkan runutan sebagaimana alur
konvensional. Tidak berarti alur nonkonvensional tidak mempunyai keteraturan.
Selintas memang alur yang demikian sepertinya tidak teratur, tetapi harus
disadari bahwa dalam bentuk yang demikian teratur terbentuk didalamnya.
Drama-drama
Indonesia yang terbit lebih awal, katakan saja seperti drama-drama yang ditulis
oleh Umar Ismail dan beberapa pengarang yang seangkatan dengannya selalu
menampilkan jenis alur konvensional.
Karakteristik alur
drama, jika ingin membedakannya, mungkin dapat dikategorikan dengan istilah
alur konvensional dan alur nonkonvensional. Persoalannya, terdapat perbedaan
penyajian alur oleh pengarang-pengarang drama Indonesia pada tahun-tahun awal
dengan drama-drama yang lebih mutakhir. Berdasarkan kenyataan ini tidaklah
dapat divonis bahwa alur itu selalu dimulai dari perkenalan, peristiwa bergerak
ke konflik dan kemudian menurun dalam arti
kata penyelesaian. Pengertian alur konvensional disini adalah jika
peristiwa yang disajikan lebih dahulu selalu menjadi penyebab munculnya
peristiwa yang hadir sesudahnya. Peristiwa yang muncul kemudian selalu menjadi
akibat dari peristiwa yang terjadi sesudahnya, sedangkan yang dimaksudkan
dengan alur yang nonkonvensional adalah alur yang dibentuk berdasarkan
rangkaian peristiwa yang tidak berdasarkan rangkaian peristiwa yang tidak
berdasarkan runutan sebagaimana alur konvensional. Tidak berarti alur
nonkonvensional tidak mempunyai keteraturan. Selintas memang alur yang demikian
seperti tidak teratur, tetapi harus disadari bahwa dalam bentuk yang demikian
teratur terbentuk didalamnya.
Drama-drama
Indonesia yang terbit lebih awal, katakan saja seperti drama-drama yang ditulis
oleh Umar Ismail dan beberapa pengarang yang seangkatan dengannya selalu
menampilkan jenis alur konvensional.
Tentu tidak dapat
disimpulkan bahwa alur yang satu lebih baik dari alur yang lain. Masing-masing
mempunyai fungsi dan peran tersendiri, terutama dengan kaitan teks dramanya.
Sebagai salah satu unsur yang membangun drama, alur tidak mungkin diabaikan.
Meskipun hakikatnya alur pada drama merupakan sesuatu yang terpusat pada laku,
tidaklah berarti unsur ini menjadi lebih penting.
Jika alur dilihat
dalam sebuah bagan kausalitas, maka akan ditemukan sebuah atau sekelompok
peristiwa yang dominan berfungsi sebagai penyebab munculnya peristiwa-peristiwa
lain. Permasalah drama haruslah dicari pada peristiwa yang dominan yang menjadi
penyebab munculnya konflik. Peristiwa atau kelompok peristiwa yang mendominasi
peristiwa lain, yang menyebabkan muncul konflik pada drama, merupakan inti
permasalahan drama yang hendak diketengahkan pengarang. Melalui dialog,
tindakan dan laku para tokoh, pengarang seolah-olah hendak berkata
“Perhatikanlah peristiwa ini yang menjadi penyebab beberapa peristiwa lainnya
yang akhirnya bermuara pada terciptanya konflik”.
Di dalam kehidupan
nyata sehari-hari, konflik biasanya gawat dan sulit. Konflik yang amat memuncak
mungkin akan menyebabkan frustasi orang yang mengalaminya. Tidak tertutup
kemungkinan tokoh yang mengalami konflik yang dahsyat itu memilih jalan pintas
untuk segera mengakhiri konfliknya. Bisa jadi dia bunuh diri. Di dalam drama,
biasanya konflik tidak segera diakhiri oleh pengarang. Kalau masih bisa
pengarang mempertahankannya sebagai suspens. Jika perlu, konflik yang telah
gawat dan sulit tetap terus didr amatisir. Persoalannya, bukan pengarang ingin
berlebih. Tanpa konflik rasanya drama tidak bernilai apa-apa, meskipun ada
beberapa teks drama yang ditulis akhir-akhir ini tidak lagi menitikberatkan
konflik secara harfiah di dalamnya. Tokoh-tokoh yang berkarakter sebagai
pivotal caracters (tokoh protagonist dan antagonis) yang biasanya berfungsi
sebagai pencetus ide konflik mulai diabaikan. Namun begitu tidaklah berarti
drama-drama tersebut sama sekali tidak memiliki konflik, tetapi konflik
dihadirkan dalam bentuk lain, kecenderungan menciptakan konflik batin semakin
menonjol. Pertentangan dan “bentrokan” dapat saja dimunculkan pada seorang
tokoh.
Di dalam teks-teks
drama dalam pengertian universal dan konvensional konflik dapat dinilai sebagai
puncak dari perselisihan antara kepentingan pihak protagonist dan pihak
antagonis. Kata lain untuk hal ini biasanya pula disebut dengan klimaks. Bila
telah mencapai titik ini, kegawatan dan pertentangan umumnya tidak diperhebat atau
diperluas lagi, tetapi dihentikan atau dipereda. Pengakhiran konflik dapat saja
dengan memberikan keberuntungan pada satu pihak tertentu. Hal ini berarti
keruntuhan atau bencana bagi pihak lainnya. Pada drama-drama tragedi (terutama
drama-drama tragedy Yunani Kuno), tokoh protagonisnya yang sering kali
mengalami keruntuhan atau kemalangan. Jadi, tak menjadi soal pihak mana yang
beruntung dan pihak mana yang malang, yang jelas konflik mesti “diselesaikan”
dengan cara yang “biasa” atau dengan cara lain yang “tidak biasa”.
Pembaca mestilah
menyadari bahwa konflik-konflik di dalam drama terletak di antara
kejadian-kejadian atau peristiwa yang membangun drama. Konflik mungkin saja
merupakan satu peristiwa atau sekelompok peristiwa mana mempunyai fungsi sejenis.
Oleh sebab itu, pembaca harus jeli menangkap peristiwa mana atau kelompok
peristiwa mana yang dapat dikategorikan sebagai konflik drama. Jika pembaca
berhasil menemukan dan memahami konflik suatu drama, berarti pembaca dapat
dikatakan telah menguasai dan memahami permasalahan utama teks drama tersebut.
Dengan disadari
bahwa konflik terletak pada kejadian atau peristiwa, maka pembaca tidak mungkin
mengabaikan motif begitu saja. Motif juga menjadi sangat penting dan harus
ditemukan dengan cermat. Motif memberikan dasar yang kokoh bagi pembaca untuk
menginterpretasikan konflik drama. Di samping itu, akibat dari konflik juga
dapat membaca temukan pada satuan-satuan peristiwa yang membangun drama itu.
Akibat dari konflik menarik pula ditemukan dan dikaji guna penjelasan drama
secara menyeluruh. Sesuatu konflik mungkin saja disebabkan oleh suatu motif
yang terdiri dari beberapa peristiwa atau kejadian. Sekelompok kejadian itu
kemudian membentuk suatu kepaduan yang mempunyai fungsi yang sama hingga
terciptanya konflik tersebut. Makin banyak motif yang ditemukan untuk mendukung
asumsi tentang konflik, maka akan semakin memberikan keyakinan bahwa asumsi
pembaca tentang konflik suatu drama adalah tepat dan benar. Hal ini disebabkan semua peristiwa
yang membangun drama akan “direkayasa” sepenuhnya oleh pengarang untuk bermuara
kepada terciptanya konflik drama.
3.
Latar dan Ruang
Latar merupakan
identitas permasalahan drama sebagai karya fiksionalitas yang secara samar
diperlihatkan penokohan dan alur. Jika permasalahan drama sudah diketahui
melalui alur atau penokohan, maka latar dan ruang memperjelas suasana, tempat
serta waktu peristiwa itu berlaku. Latar
dan ruang di dalam drama memperjelas pembaca untuk mengidentifikasikan
permasalahan drama.
Secara langsung
latar berkaitan dengan penokohan dan alur. Sehubungan dengan itu, latar harus
saling menunjang dengan alur dan penokohan dalam membangun permasalahan dan
konflik. Latar yang konkret biasanya berhubungan dengan tokoh-tokoh yang
konkrit dan peristiwa-peristiwa yang konkret. Sebaliknya latar yang abstrak
akan berhubungan dengan peristiwa yang abstrak dan tokoh-tokoh yang abstrak
pula. Dengan begitu, perumusan masalah yang dihasilkan juga abstrak.
Berdasarkan
kenyataan ini, maka jelaslah bahwa kedudukan latar di samping penokohan dan
alur di dalam drama sama pentingnya. Latar ikut membangun permasalahan drama
dan menciptakan konflik. Bagi pembaca, latar haruslah dipandang sebagai suatu
unsur yang mengarahkan dan memperjelas permasalahan drama. Alur masih netral
mengungkapkan peristiwa-peristiwa sebagai bagian dari permasalahan, latar
memperjelas keadaan, suasana, tempat dan waktu terjadinya peristiwa. Demikian
juga dengan penokohan yang ada kalanya masih mengambang, maka latarlah yang
memperjelasnya.
Unsur-unsur
naratif yang dimasukkan pengarang ke dalam drama bagaimana akan dibatasinya
juga. Persoalannya, jika unsur naratif terlalu mendominasi drama, maka unsur perbuatan, tindakan, serta
kejadian akan hilang. Tentunya hakikat drama akan terganggu pula. Oleh sebab
itu, bagaimanapun pengarang tidak akan mau terperangkap untuk bernarator pada
teks drama yang ditulisnya. Di samping akan mengganggu hakikat drama, jika
terlalu banyak diceritakan maka keterkaitan pembaca untuk menggambarkan
imajinasi pentas akan kendur, yang tentu saja akan mempengaruhi bentuk
pementasannya, jika teks semacam ini dipentaskan.
Suatu tidak perlu
bertele-tele sudah menjadi ciri teks drama. Hal ini sudah cukup membantu
pembaca untuk menangkap peristiwa inti yang menjurus kepada “apa yang ingin
dibicarakan drama”. Akan
lain persoalannya seandainya pembaca berusaha menemukan permasalahan fiksi
melalui satuan-satuan peristiwa, sebagaimana dilakukan terhadap drama. Cerpen
atau novel misalnya, dibandingkan drama mempunyai kemungkinan yang besar untuk
mengulur-ulur serta memperpanjang peristiwa inti dengan peristiwa-peristiwa
sampingan yang dihadirkan sekadar pelengkap belaka dibandingkan drama. Hakikat drama dua dimensi itu
tidak memungkinkan peristiwa atau konflik diulur-ulur. Jika itu terjadi maka tidak akan ada penonton
yang dapat bertahan menyaksikan pementasan drama itu.
Ruang merupakan
unsur lain drama yang jelas berkaitan dengan latar. Ruang juga menyangkut
tempat dan suasana. Namun begitu, sukar untuk menganalisis ruang tanpa
menghubungkannya dengan persoalan pementasan. Membicarakan ruang hanya
menitikberatkan drama sebagai genre sastra belaka memberikan pemahaman yang
tidak menyeluruh. Oleh sebab itu, bukanlah berlebihan jika untuk memahami persoalan ruang di dalam
drama, pembaca menghubungkannya dengan pementasan. Persoalannya, pentas terjadi
di dalam suatu ruang tertentu, tidak dapat pula pembaca dengan cara begitu saja
mencampuradukkan antara teks drama dengan pementasan. Yang menarik untuk
diselidiki adalah ungkapan-ungkapan yang terdapat didalam teks drama yang
mengandung indikasi-indikasi tentang ruang.
Di dalam teks-teks
naratif dapat dipaparkan pemandangan-pemandangan yang luas, sebuah panorama. Di
dalam drama pemaparan yang semacam itu tidak mungkin ditemukan, karena hakikat
drama sebagai karya yang ditulis untuk dipentaskan. Jika pemaparan yang
terdapat di dalam teks-teks naratif ingin jika dimasukkan ke dalam teks drama
mungkin bisa juga, tetapi pengarang mungkin menggunakan akal-akalan. Menurut
Luxemburg dan kawan-kawan (1984:173) di dalam teks drama sebenarnya
dimungkinkan untuk memasukkan hal-hal yang bersifat naratif yang mengisahkan suatu
ruang yang lebih luas, bahkan terdapat juga kemungkinan vokalisasi. Di dalam
teks drama dapat dilakukan, misalnya dengan menempatkan suatu kejadian tempat
seorang tokoh melihat keluar, melalui jendela, dari tempat ketinggian seperti
balkon, dan lain-lain. Teknik seperti ini biasanya disebut dengan teichoscopie.
Selain dari
hal-hal yang telah diungkapkan di atas, teknik untuk menampilkan ruang di dalam
teks drama juga dapat ditampilkan melalui perbuatan atau laku para
tokoh. Hal ini tentu akan semakin jelas jika laku itu telah menjadi tindakan
konkret di atas pentas. Jadi, tidak hanya melalui ucapan-ucapan dan
dialog-dialog para tokoh saja orang dapat ditampilkan didalam teks drama.
4.
Penggarapan Bahasa
Di dalam sebuah
drama, dialog merupakan situasi bahasa utama. Namun begitu, pengertian
penggarapan bahasa di sini bukanlah tentang dialog itu sendiri, melainkan
bagaimana bahasa dipergunakan pengarang sehingga terjadi situasi bahasa.
Bagaimana bahasa dipergunakan barangkali menyangkut tentang gaya. Mungkin lebih
tepat jika yang dimaksudkan dengan penggarapan bahasa adalah biasa disebut
dengan style.
Pembicaraan
tentang gaya bahasa menyangkut kemahiran pengarang mempergunakan bahasa sebagai
medium drama. Penggunaan bahasa tulis dengan segala kelebihan dan kekurangannya
harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pengarang. Penggunaan bahasa harus
relevan dan menunjang permasalahan-permasalahan yang hendak dikemukakan; harus
serasi dengan teknik-teknik yang digunakan; dan harus serasi dengan
teknik-teknik yang digunakan; dan harus tepat merumuskan alur, penokohan, latar
dan ruang, dan tentu saja semua itu bermuara pada ketepatan perumusan tema atau
premise teks drama.
A. Teeuw (1984:
26) menyebutkan tujuh ciri bahasa tulis. Di dalam ketujuh ciri bahasa tulis itu
terkandung keunggulan dan kelemahannya. Bahasa tulis jika dibandingkan dengan
bahasa lisan telah kehilangan unsur penunjang, seperti isyarat ekspresi,
intonasi serta peragaan. Namun begitu, sebenarnya di dalam kekurangan itu
terdapat celah untuk pengarang yang kreatif dapat menyampaikan permasalahan-permasalahan
drama. Pengarang diharapkan harus mengungkapkan permasalahan secermat dan
seteliti mungkin, sehingga tersusunlah bahasa yang rapi dan indah sebagai salah
satu ciri karya sastra. Dengan kreativitasnya, pengarang memanfaatkan
kekurangan bahasa tulis itu untuk menciptakan situasi sastra yang ambigu yang
juga menjadi ciri khas karya sastra.
Gaya bahasa
cenderung dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu penegasan, pertentangan,
perbandingan dan sindiran. Sebagaimana di dalam karya sastra lainnya,
di dalam drama para pengarang pun memanfaatkan hal ini. Tentu dengan
memperhatikan kekhususan karakteristik drama.
Masing-masing jenis itu dapat pula diperinci lebih lanjut, misalnya
metafora, personifikasi, asosiasi, paralel, dan lain-lain untuk jenis bahasa
perbandingan, ironis, sarkas, dan sinis untuk jenis gaya bahasa sindiran;
pleonasme, repetisi, klimaks, retoris dan lain-lain untuk jenis gaya bahasa
penegasan, dan paradoks, antitesis, dan lain-lain, untuk jenis gaya bahasa
pertentangan. Penggunaan
jenis gaya bahasa ini akan membantu pembaca mengidentifikasi perwatakan tokoh.
Tokoh yang menggunakan gaya bahasa penegasan dalam ucapan-ucapannya tentu akan
berbeda letaknya dengan tokoh yang menggunakan gaya bahasa sindiran ataupun
pertentangan dan perbandingan.
Pemberian ciri
khas gaya bahasa seseorang tokoh melalui ucapan-ucapan, dialog-dialog, oleh
pengarang sangat penting diperhatikan oleh pembaca. Usaha untuk memahami drama
satu diantaranya dengan mengamati ciri khas gaya bahasa para tokoh yang “dibentuk”
pengarang. Misalnya tokoh yang suka (ditentukan) menggunakan gaya bahasa
pertentangan lebih cenderung sebagai tokoh antagonis dan berwatak pembangkang.
Tokoh yang menggunakan gaya bahasa
sindiran akan memberi petunjuk bahwa tokoh tersebut berwatak “penakut” tidak
berani berterus terang atau tidak berani
tegas dalam menyampaikan pikirannya. Tokoh yang suka menggunakan bahasa
penegasan akan memberikan petunjuk pula bahwa setidak-tidaknya tokoh tersebut
merupakan tokoh yang berpikiran dan berpandangan serius dan mungkin sekali
penuh idealis.
Penggarapan bahasa
di dalam drama akan memberikan indikasi lain tentang keberadaan unsur-unsur
yang berikatan erat dengan latar drama, misalnya hal-hal hubungan dengan latar
drama, dengan indikasi suasana, waktu, dan tempat. Jika di dalam teks drama
ditemukan gaya senisme yang digunakan pengarang, mungkin akan memberikan
indikasi tentang suatu keadaan sewenang-wenangnya kekuasaan, ataupun gaya
simbolisme yang berhubungan dengan suasana keprihatinan. Oleh sebab itu,
penggarapan bahasa oleh pengarang di
dalam drama merupakan bagian penting untuk diselidiki guna menunjang pemahaman
informasi-informasi teks drama dengan baik dan benar.
Jika penilaian
berhasil atau tidaknya sebuah karya drama dalam kapasitasnya sebagai genre
sastra dari sudut penggarapan bahasa pengarang, maka haruslah kekhasan gambaran
tokoh dari ucapan dan dialog-dialognya menjadi tolok ukur. Jika seorang tokoh
berada dalam situasi dan peran yang berbeda, maka penggunaan gaya bahasanya
juga harus berbeda. Secara rasional
tokoh laki-laki tidaklah sama penggunaan gaya bahasanya dengan tokoh wanita.
Tokoh yang berperan sebagai anak akan berbeda bahasanya dengan perannya saat
menjadi orang tua; anak lelaki berbeda bahasanya dengan anak perempuan; begitu
pula orang tua yang menghadapi anaknya yang masih kanak-kanak berbeda bahasanya
dengan orang tua menghadapi anaknya yang telah remaja ataupun dewasa; cara
mengungkapkan rasa cinta berbeda antara pria dan wanita; perempuan dewasa
berbeda ungkapan rasa cintanya dengan gadis remaja, dan seterusnya.
Variasi dan
pengembangan dari perbedaan-perbedaan bagaimana seharusnya tokoh berbahasa
dapat diikuti berdasarkan pola hubungan peran dan penokohan. Pada hakikatnya,
bahasa yang digunakan oleh tokoh-tokoh peristiwa tersebut, kesemuanya merupakan
kemahiran pengarang dalam menetapkan pilihan kata dan aturan kalimatnya.
Penggambaran watak
tokoh yang monoton memang berkaitan dengan bagaimana unsur bahasa digarap oleh
pengarang. Pengarang yang kurang mahir menggarap bahasa selain menimbulkan
kemonotonan, juga akan menyebabkan tokoh-tokoh tidak kelihatan matang. Beberapa
pengarang besar drama seperti Sophokles dan Shakespeare jika diamati bagaimana
mereka menggarap bahasa merupakan contoh konkrit tentang penggarapan bahasa
yang baik. Oleh sebab itu membaca teks-teks drama yang digarap secara apik
unsur bahasanya terasa tidak membosankan. Di pihak lain bahasa yang digarap
apik juga menyebabkan peristiwa berjalan
mulus dan mengalir tanpa tersendat-sendat. Di samping itu, hal-hal
semacam ini dapat pula membangkitkan imajinasi pembaca terhadap hal-hal yang
diperbincangkan para tokoh didalam teks drama.
5.
Tema
dan Amanat
Tema dan amanat dapat
dirumuskan dari berbagai peristiwa, penokohan dan latar. Tema adalah inti
permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya. Oleh karena itu,
tema merupakan hasil konklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan
penokohan dan latar. Dalam sebuah drama terdapat banyak peristiwa yang
masing-masingnya mengemban permasalahan, tetapi hanya ada sebuah tema sebagai
intisari dari permasalahan-permasalahan tersebut. Permasalahan ini dapat pula
muncul melalui perilaku-perilaku para tokoh ceritanya yang teait dengan latar
dan ruang. Amanat merupakan opini, kecenderungan dan visi pengarang terhadap
tema yang dimemukakannya. Amanat dalam drama dapat terjadi lebih dari satu asal
kesemuanya terkait dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik atau
sejalan dengan teknik pencarian tema. Oleh sebab itu, amanat juga merupakan
kristalistik dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, latar dan ruang cerita.
Pencarian tema dan amanat
hanyalah diperlukan bagi pelajar, pembaca atau kritikus pemula. Bagi peneliti
dan kritikus hal semacam pencarian tema dan amanat bukanlah hal yang penting
dan utama. Peneliti dan kritikus bertugas menemukan sebanyak mungkin
permasalahan kemanusiaan dan nuansa sosial budaya masyarakat di dalam teks
drama yang dibacanya serta bagaimana kemungkinan pementasannya sehingga lebih
komunikatif dan diterima. Selanjutnya menjelaskan sejauh mana permasalahan
tersebut berkaitan dengan tata nilai, norma-normal ideal dan praktis yang
sedang berlangsung dan mungkin akan berlangsung di tengah masyarakat permbaca.
Sejauh mana permasalahan tersebut mempunyai dampak positif bagi pengembangan
nilai-nilai kemanusiaan, sejauh mana permasalahan tersebut menunjang penikmat
drama mengambil manfaat bagi kehidupan masa kini dan masa yang akan datang.
Tema dan amanat tidak
diperlukan dan tidak dipentingkan dalam analisis drama, karena bukanlah itu
tujuan pengarang mengungngkapkan permasalahan fenomena budaya. Pencerita drama
dilakukan untuk memperluas wawasan kemanusiaan, memperluas budi pekerti,
memperpeka diri terhadap dilema kehidupan manusia, mengundang pembaca untuk
toleran dan bersimpati dengan permasalahan kemanusiaan, mengajak pembaca untuk
melakukan tamasya spiritual dan estetis sambil melirih permasalahan individu
dan lingkungannya, memberikan tanggapan psikis kepada pembaca terhadap
persoalan yang selama ini luput dari pengamatannya, memberikan kenikmatan
psikis dengan membimbing imajinasi pembaca, dan lain-lain. Dengan demikian,
penelitian teks drama tidaklah sekadar mencari tema dan amanat, tetapi
mengungkapkan misteri kehidupan manusia yang dirasakan pengarang. Untuk itu
lupakanlah pendangkalan apresiasi sastra dengan hanya pencarian tema dan
amanat.
BAB
III
METODE PENELITIAN
3.1
Pendekatan
dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif dalam sudut
pandang penelitian kepustakaan. Dikatakan deskriptif kualitatif karena
penelitian ini, penulis mendeskripsikan data yang dianalisis berupa nilai-nilai moral dalam
naskah “Kelapa Parut” Sartono dan E.Kosnedi.
Sesuai dengan kenyataan yang ditemukan dalam penelitian. Dikatakan deskriptif
kualitatif karea dalam menjelaskan konsep-konsep yang berkaitan antara yang
satu dengan yang lain, peneliti menggunakan kata-kata atau kalimat bukan
angka-angka statistik dengan mengacu pada struktur yang benar serta menggunakan
pemahaman yang mendalam. Jenis penelitian kepustakaan ini dilakukan dengan
mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan naskah.
3.2
Sumber
data dan data
Data-datanya adalah kutipan-kutipan cerita yang mencerminkan nilai-nilai
Sumber dan data penelitian ini adalah teks naskah “kelepa parut” adapun moral
yang terkandung dalam naskah “kelepa parut”.
3.3
Instrumen
penelitian
Dalam
penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrument utama atau insrumen kunci
dalam pengumpulan data. Dikatakan demikian karena dalam proses penelitian,
peneliti sendiri yang melakukan penelahaan terhadap cerita yang diteliti. Hal
ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa dalam penelitian kualitatif
keberhasilannya bergantung pada kemampuan kemampuan orang menggunakan alat
tersebut. Dengan kata lain, peneliti yang paling menentukan keberhasialan
peneliti (Ratna 2007:363) (dalam Moleong:2007).
3.4
Teknik
Pengumpulan Data
Pengumpulan dalam
penelitian ini di lakukan dengan tiga teknik yaitu:
1. Teknik
baca
Membaca dengan seksama dengan
berulang-ulang
2. Teknik
infentarisasi
Mencari dan mengumpulkan sejumlah data
dan naskah dari buku-buku dan kumpulan naskah.
3. Teknik
pencatatan
Setelah baca simak, inventarisasi, hasil
yang diperoleh dicatat dan dipilah-pilah satu persatu.
3.5
Teknik Analisis Data
Adapun
langkah-langkah yang ditempuh dalam menganalisis data adalah melakukan
pembacaan secara berulang-ulang terhadap teks naskah, menandai setiap data yang
mengandung nilai moral (pemodean data), seluruh data yang diperoleh dari hasil
pembacaan dan pengodean dipilah berdasrkan objek penelitian, dan data yang
telah dipilah-pilah dideskripsikan sebagai mana adanya dan disusun dalam bentuk
laporan. Analisis menurut Sangidu (2005:73) bertujuan menyederhanakan dalam
bentuk yang lebih mudah dibaca diinterprestasikan.
BAB
IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Buku yang menjadi sumber
penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Nama
penulis : Sartono dan E. Kosnedi
b. Penerbit
dan tahun terbit : PT. ARMANDELTA
SELARAS Tahun 2004
c. Jenjang/
kelas : SD/ Lima
d. Semester : 1 dan 2
Jumlah
naskah drama pada jenjang pendidikan SD
a. Kelas
1 : -
b. Kelas
2 : -
c. Kelas
3 : -
d. Kelas
4 : -
e. Kelas
5 : 1 Naskah
f. Kelas
6 : -
Teks
naskah drama adalah sebagai berikut:
Waktu hari minggu Haris di suruh oleh
ibunya membeli kelapa parut di pasar yang dekat dengan tempat tinggal mereka.
01.
Ibu :Haris,
tolong belikan kelapa parut di pasar. Ibu tanggung sedang menggoreng!
02. Haris
: Ya, Bu!
Setelah diberi uang Haris
segera berangkat ke pasar. Namun baru beberapa langkah meniggalkan pekarangan
rumah, Haris baru sadar kalau dia belum tahu tempat penjual kelapa parut. Haris
berputar-putar mencari tempat penjual kelapa parut, tapi tidak juga ditemukan.
Haris memutuskan untuk kembali lagi menanyakantempat penjual kelapa tersebut.
03.Haris :
Ya, ampun …saya tidak tahu tempatnya. Mestinya saya tanyakan dulu
pada Riska! Dia pasti tahu.
(Sambil kembali lagi dan menemui
adiknya)
04.
Riska
:Dapat, kak kelapanya ?
05.Haris
:Dapat bagaimana, tempatnya juga tidak tahu (Sambil
membentak adiknya). Ibu mana?
06. Riska :
Lagi ke warung. Saya tahu, Kak tempatnya. Mau saya antar?
07. Haris : Nggak mau, biar nanya
saja dulu sama Ibu! (kata
Haris sambil pergi)
08.Riska : dasar pemarah, ditolong
tidak mau. Biarin repot sendiri!
Setelah Haris menemui Ibunya, Haris
disuruh minta antar sama adiknya karena Riska sudah sering dibawa belanja oleh
Ibu.
09. Haris :Ris, cepat antar kakak!
Ibu menyuruhmu mengantar!
10.Riska :Ya, sudah. Kalau dari
tadi kan sudah sampai di pasar.
Akhirnya mereka pergi menuju
pasar untuk membeli kelapa parut.
4.2
Pembahasan
Analisis
naskah drama diawali dengan tokoh, peran dan karakter , motif, korflik,
peristiwa dan alur, latar dan ruang, penggarapan bahasa , tema dan amanat.
1.
Tokoh,
peran, dan karakter
Tokoh, peran dan
karakter dalam naskah ini diuraikan secara rinci sebagai berikut.
1) Tokoh
Tokoh dalam naskah
drama ini terdiri dari 3 orang yaitu: 1)
Ibu, 2) Haris, dan 3) Riska.
Uraian rinci mengenai tokoh-tokoh
tersebut adalah sebagai berikut:
- Tokoh
Ibu dalam naskah ini tidak dijelaskan sercara intrinsik tetapi menurut dugaan
penulis tokoh ibu dalam naskah ini adalah seorang perempuan yang berusia 32
tahun dan memiliki 2 orang anak, dan sebagai seorang ibu rumah tangga yang baik
hal ini didukung oleh dialog sebagai berikut:
“Ibu : Haris, tolong belikan kelapa parut
dipasar, ibu tanggung sedang
menggoreng.”
- Tokoh
Haris dalam naskah ini tidak dijelaskan secara intrinsik tetapi menurut penulis
tokoh haris adalah seorang anak yang berusia 12 tahun dan memiliki sifat yang
rajin hal ini didukung oleh dialog sebagai berikut.
“Ibu : haris, tolong belikan
kelapa parut dipasar, ibu tanggung sedang menggoreng.
Haris
: ya, bu!”
- Tokoh
riska dalam naskah ini tidak dijelaskan secara intrinsik tetapi menurut dugaan
penulis tokoh riska adalah seorang anak yang berusia 10 tahun dan memiliki
sifat baik hati, penolong dan sifat perhatian hal ini didukung oleh dialog
sebagai berikut.
“Riska : dapat, kak kelapanya ?
Haris :dapat bagaimana, tempatnya juga tidak
tahu (sambil membentak adiknya ).
Ibu mana?
Riska : lagi kewarung, saya tahu, kak
tempatnya mau saya antar?”
2) Peran
Tokoh
dalam makalah ini memiliki peran yang berbeda-beda Ibu berperan sebagai ibu
rumah tangga yang sibuk, suka menyuruh anaknya untuk membantunya, sementara
Haris berperan sebagai anak yang rajin dan sebagai seorang kakak yang agak
pemarah. Dan Riska berperan sebagai anak
yang baik, penolong dan perhatian.
- Adapun
dialog yang mendukung peran Ibuadalah sebagai berikut :
“Ibu :
haris, tolong belikan kelapa parut dipasar, ibu tanggung sedang menggoreng.
- Adapun
dialog yang mendukung peran Haris yaitu
:
“Ibu : haris, tolong belikan kelapa parut
dipasar, ibu tanggung sedang menggoreng.
Haris : ya, bu!”
- Adapun
dialog yang mendukung peran Riska yaitu :
“Riska :
dapat, kak kelapanya ?
Haris
: dapat bagaimana, tempatnya juga
tidak tahu (sambil membentak
adiknya ). Ibu mana?
Riska
: lagi kewarung, saya tahu, kak
tempatnya mau saya antar?”
3) Karakter
Adapun karakter Ibu,Haris dan Riska dalam
naskah ini adalah sebagai berikut :
- Karakter
Ibu tritagonis adapun dialog pendukungnya.
“Ibu :Haris, tolong belikan kelapa parut
dipasar, ibu tanggung sedang menggoreng.
- Karakter Haris
tritagonis adapun dialog pendukungnya.
“Ibu : Haris, tolong belikan kelapa parut
dipasar, ibu tanggung sedang menggoreng.
Haris : ya, bu!”
“Riska
: dapat, kak kelapanya ?
Haris : dapat bagaimana, tempatnya juga tidak
tahu (sambil membentak adiknya ).
Ibu mana?
-Karakter
Riska protagonis adapun dialog pendukungnya.
“Riska
: dapat, kak kelapanya ?
Haris : dapat bagaimana, tempatnya juga tidak
tahu (sambil membentak adiknya ). Ibu mana?
Riska : lagi kewarung, saya tahu, kak tempatnya
mau saya antar?”
2. Motif, konflik ,
peristiwa dan alur.
Motif,
konlik , peristiwa dan alur dalam naskah ini di awali dengan rentetan
peristiwa.
a) Rentetan Peristiwa
Adapun rentetan peristiwa dalam naskah
ini adalah sebagai berikut:
1. Perintah/permintaan
Ibu kepada Haris.
2. Tanggapan
Haris.
3. Ketidaktahuan
Haris tempat penjual kelapa parut.
4. Pertanyaan
Riska.
5. Tanggapan/
bentakan haris terhadap Riska.
6. Pertanyaan
Haris.
7. Jawaban/tawaran
Riska.
8. Tanggapan
Riska.
9. Permintaan
Haris terhadap Riska.
10. Tanggapan
Riska.
Berdasarkan
rentetan peristiwa di atas, maka diuraikan peristiwa yang terjadi dalam naskah.
Peristiwa bermula dari
perintah ibu pada haris agar membelikan kelapa parut di pasar peristiwa itu
berlanjut dengan tanggapan haris pada ibu, berikutnya adalah haris sadar bahwa
dia tidak mengetahui tempat penjualan kelapa parut peristiwa ini berlannjut
dengan pertanyaan riska setelah itu berlanjut pada pertanyaan riska selanjutnya
tanggapan haris kemudian riska mengajukan penawaran peristiwa selanjutnya
penolakan haris kemudian tanggapan riska.
b)
Konflik
Berdasarkan
rentetan peristiwa di atas, ditemukan konflik dalam naskah ini yaitu konflik
yang terjadi antara Haris dan Riska. Hal tersebut dibuktikan dengan kutipan
berikut ini:
05.
Riska
:Dapat, kak kelapanya ?
05.Haris :Dapat bagaimana, tempatnya juga tidak tahu (Sambil membentak adiknya). Ibu mana?
06.
Riska : Lagi ke warung. Saya
tahu, Kak tempatnya. Mau saya antar?
07. Haris
: Nggak mau, biar nanya saja dulu sama Ibu! (kata Haris sambil pergi)
08.Riska :
dasar pemarah, ditolong tidak mau. Biarin repot sendiri!
Kutipan
di atas sudah cukup jelas, bahwa telah terjadi konflik antara Haris dan Riska.
c)
Motif
Berdasarkan
konflik di atas terdapat satu motif yaitu :
“Haris kesal karena sudah
berputar-putar di pasar tetapi dia tidak menemukan penjual kelapa parut.
Kemudian sepulangnya dari pasar Riska langsung bertanya dan Haris pun membentak Riska.”
Dari konflik dan
motif dalam naskah drama ini adapun solusinya yaitu seharusnya sebelum Haris
melakukan sesuatu sebaiknya melakukan pertanyaan dahulu agar tidak
berputar-putar di pasar. Agar mudah untuk mendapatkan apa yang disuruhkan
Ibunya, dan seharusnya Riska pun tidak perlu melakukan pertanyaan terhadap
Haris. Adapun dialog pendukungnya adalah sebagai berikut:
Haris : Ya, ampun …saya
tidak tahu tempatnya. Mestinya saya tanyakan
dulu pada Riska! Dia pasti tahu. (Sambil kembali lagi
dan menemui adiknya)
Riska : Dapat, kak kelapanya ?
Haris
: Dapat bagaimana, tempatnya juga tidak tahu (Sambil membentak adiknya). Ibu
mana?
Riska
:Lagi ke warung. Saya tahu, Kak tempatnya. Mau saya antar?
Haris : Nggak mau, biar nanya saja dulu
sama Ibu! (kata Haris
sambil pergi).
d) Alur
Berdasarkan
rentetan peristiwa, motif dan konflik pada naskah ini alurnya adalah alur maju.
Alular maju dalam naskah ini adalah sebagai berikut:
Peristiwa
bermula dari perintah ibu pada haris agar membelikan kelapa parut di pasar
peristiwa itu berlanjut dengan tanggapan haris pada ibu, berikutnya adalah
haris sadar bahwa dia tidak mengetahui tempat penjualan kelapa parut peristiwa
ini berlannjut dengan pertanyaan riska setelah itu berlanjut pada pertanyaan
riska selanjutnya tanggapan haris kemudian riska mengajukan penawaran peristiwa
selanjutnya penolakan haris kemudian tanggapan riska.
3. Latar dan Ruang
Latar dan ruang dalam
naskah drama ini yaitu di dalam sebuah rumah karena didukung oleh alat-alat
dapur yang digunakan oleh Ibu haris untuk menggoreng. Latar berikutnya yaitu
pasar dan warung. Latar dalam naskah ini didukung oleh dialog sebagai berikut:
“Ibu : Haris, tolong
belikan kelapa parut dipasar, ibu tanggung sedang menggoreng.
Haris
: ya, bu!”
Setelah diberi uang Haris segera berangkat ke
pasar.
Riska :
Dapat, kak kelapanya ?
Haris
: Dapat bagaimana, tempatnya juga tidak tahu (Sambil membentak adiknya). Ibu
mana?
Riska : Lagi ke warung. Saya tahu, Kak
tempatnya. Mau saya antar?
Ruang yang terjadi
dalam naskah ini pada waktu hari minggu karena
didukung oleh petunjuk pementasan yaitu:
“waktu hari minggu Haris disuruh Ibunya
membeli kelapa parut di pasar yang dekat dengan tempat tinggal mereka” dan
menurut dugaan penulis peristiwa ini terjadi pada siang hari.
4.
Penggarapan
Bahasa
Penggarapan bahasa
dalam naskah drama ini menggunakan
bahasa yang serius sedemikian dengan tragedi identik dengan nasib malang yang
ditimpa oleh Haris dan Riska. Berdasarkan hal itu maka ciri bahasa tragedi
dalam naskah ini adalah keadaan yang menimpa Haris berputar-putar mencari
tempat penjual kelapa parut tetapi tidak juga ditemukannya, dan Riska yang dibentak oleh Haris. Gaya bahasa tragedy
didukung oleh dialog sebagai berikut:
Haris : Ya, ampun …saya
tidak tahu tempatnya. Mestinya saya tanyakan
dulu pada Riska! Dia pasti tahu. (Sambil kembali lagi
dan menemui adiknya)
Riska : Dapat, kak
kelapanya ?
Haris : Dapat
bagaimana, tempatnya juga tidak tahu (Sambil membentak adiknya). Ibu mana?
Riska :Lagi ke warung. Saya tahu, Kak
tempatnya. Mau saya antar?
5. Tema dan Amanat
Adapun tema yang ada
dalam naskah ini yaitu kelapa parut dan amanat yang ada dalam naskah ini, yaitu
sebelum melakukan sesuatu yang tidak diketahui sebaiknya bertanya terlebih
dahulu.
BAB
V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan analisis
yang saya lakukan pada naskah “kelapa parut” Karya Sartono dan E. Kosnedi
merupakan jenis naskah tragedi, karena Haris membentak adiknya ketika adiknya
bertanya kepadanya mengenai, apakah ada kelapa parut yang haris beli atau
tidak. Jumlah tokoh yang terdapat dalam naskah tersebut ada tiga, di antaranya:
1) ibu, 2) Haris, dan 3) Riska. Ibu berperan sebagai ibu rumah tangga yang
sibuk, suka menyuruh anaknya untuk membantunya, sementara Haris berperan
sebagai anak yang rajin dan sebagai seorang kakak yang agak pemarah. Dan Riska
berperan sebagai anak yang baik, penolong dan perhatian. Adapu karakter yang
dimiliki seorang ibu tritagonis. Karakter Haris tritagonis, karena dia memiliki
dua peran dalam cerita tersebut. Peran pertama, dia sebagai anak yang rajin dan
anak yang agak pemarah. Sementara Riska memiliki karakter protagonis, sebab
riska adalah seorang anak yang baik, penolong, dan perhatian terhadap kakanya.
Adapun konflik yang
terjadi dalam naskah tersebut, yaitu ketika Haris membentak Riska. Adapun
motifnya, yaitu berawal ketika Haris kesal karena sudah berputar-putar di pasar
tetapi dia tidak menemukan penjual kelapa parut. Kemudian sepulangnya dari
pasar Riska langsung bertanya dan
Haris pun membentak Riska.
. Adapun alur yang
terdapat dalam naskah ini, yaitu alur maju. Sebab peristiwa bermula dari
perintah ibu pada haris agar membelikan kelapa parut di pasar peristiwa itu
berlanjut dengan tanggapan haris pada ibu, berikutnya adalah haris sadar bahwa
dia tidak mengetahui tempat penjualan kelapa parut peristiwa ini berlannjut
dengan pertanyaan riska setelah itu berlanjut pada pertanyaan riska selanjutnya
tanggapan haris kemudian riska mengajukan penawaran peristiwa selanjutnya
penolakan haris kemudian tanggapan riska. Latar dalam naskah drama ini yaitu di
dalam sebuah rumah karena didukung oleh alat-alat dapur yang digunakan oleh Ibu
haris untuk menggoreng. Latar berikutnya yaitu pasar dan warung. Sementara ruang
yang terdapat dalam naskah tersebut, yaitu terjadi pada minggu siang. Adapun
gaya bahasa yang digunakan, yaitu gaya bahasa serius atau tragedi, dan tema
yang ada dalam cerita tersebut, bertemakan kelapa parut dan amanat yang ada dalam
naskah ini yaitu sebelum melakukan sesuatu yang tidak diketahui sebaiknya
bertanya terlebih dahulu.
5.2
Saran
Adapun saran yang
dapat saya sampaikan, yaitu ketika seseorang menyuruh kita untuk melakukan
sesuatu, sebaiknya kita harus betul-betul mengetahuinya dengan jelas. sebab
ketika kita tidak mengetahuinya, maka kita akan bingung untuk melakukan apa
yang akan kita kerjakan.
Semoga dengan adanya
makalah ini, kiranya dapat memberikan sedikit pengetahuan tentang analisis
naskah drama dengan cara mengacu pada tata cara pembuatan karya ilmiah
(skripsi). Tapi jangan hanya mengacu pada makalah ini saja, karena masih banyak makalah-makalah lain yang bisa
dijadikan contoh dalam pembuatan sebuah karya ilmiah (skripsi).
Akhir kata tulus dari
hati, saya ucapkan terima kasih. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu.
DAFTAR PUSTAKA
Albert, Brother. 1961. English Art
and Skills Grade. New York: the Machmilan Co.
Brahim. 1960. Drama dalam Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung.
Djajahkusumah,
D. 1968. Menyelenggarakan Pementasan Drama dalam Buku Pekan Seni Drama. Jakarta:
DCI Djaja.
Effendi,
Rustam. 1953. Bebasari. Jakarta: Fasco.
Ensiclopedia Britania. 1961.
London: Cicago Toronto.
Hasanuddin. 1996. Drama, Karya
dalam Dua Dimensi. Bandung: Angkasa.
Ismail, Umar. 1968. Beberapa Segi dalam Memenuhi Hasrat para Peminat
Seni Peran dalam Buku Pekan Seni Drama. Jakarta; DCI Djaja.
Mohammad Gunawan. 1968. Teater dan Publiknya dalam Buku Pekan Seni
Drama. Jakarta: DCI
Djaja.
Morries, Alton. 1964. College
English. New York: Harcourt Brace World Inc.
Raffie, Dahlan. 1957. Si Muka Jelek dalam Majalah Indonesia. Jakarta:
BMKN.
Samim, Mansur. 1959. Bahana Lautan Malam dalam Majalah Indonesia. Jakarta:
BMKN.
Shakespeare, Willaiam. 1952. Mana Suka (Terjemahan Trisno Sumardjo). Jakarta:
Balai Pustaka.
Slametmulyana, R.B. 1951. Bimbingan Seni Sastra. Jakarta:
J.B, Wolters.
Sastrawondho. Sumantri. 1968. Drama sebagai Media Pendidikan Anak-Anak dalam
Buku Pekan Seni Drama. Jakarta: DCI Daja.
Tarigan, H.G. 1969. Beberapa
Petunjuk untuk Mengarang.
DAFTAR
LAMPIRAN
Waktu hari minggu Haris di
suruh oleh ibunya membeli kelapa parut di pasar yang dekat dengan tempat
tinggal mereka.
03.
Ibu :Haris,
tolong belikan kelapa parut di pasar. Ibu tanggung sedang menggoreng!
04. Haris
: Ya, Bu!
Setelah diberi uang Haris segera
berangkat ke pasar. Namun baru beberapa langkah meniggalkan pekarangan rumah,
Haris baru sadar kalau dia belum tahu tempat penjual kelapa parut. Haris
berputar-putar mencari tempat penjual kelapa parut, tapi tidak juga ditemukan.
Haris memutuskan untuk kembali lagi menanyakan tempat penjual kelapa tersebut.
03.Haris :
Ya, ampun …saya tidak tahu tempatnya. Mestinya saya tanyakan dulu
pada Riska! Dia pasti tahu.
(Sambil kembali lagi dan menemui
adiknya)
06.
Riska
:Dapat, kak kelapanya ?
05.Haris
:Dapat bagaimana, tempatnya juga tidak tahu (Sambil membentak adiknya). Ibu mana?
06. Riska :
Lagi ke warung. Saya tahu, Kak tempatnya. Mau saya antar?
07. Haris : Nggak mau, biar nanya
saja dulu sama Ibu! (kata
Haris sambil pergi)
08.Riska : dasar pemarah, ditolong
tidak mau. Biarin repot sendiri!
Setelah Haris menemui Ibunya, Haris disuruh
minta antar sama adiknya karena Riska sudah sering dibawa belanja oleh Ibu.
09. Haris :Ris, cepat antar kakak!
Ibu menyuruhmu mengantar!
10.Riska :Ya, sudah. Kalau dari
tadi kan sudah sampai di pasar.
Akhirnya
mereka pergi menuju pasar untuk membeli kelapa
parut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar