Kamis, 20 Desember 2012

Tugas Analisis Naskah Drama


BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Kesenian seni tradisional di Indonesia, memang unsur dimensi sastra pada drama tepatnya pada teater lebih mengarah pada bentuk perpaduan tarian dan nyanyian. Unsur cerita yang disampaikan bukan tidak penting, tetapi dapat dikatakan hanya merupakan ide-ide pokok saja. Alur bergulir berkat improvisasi dan kepiawaian Pengertian drama sebagai karya dua dimensi mesti dilepaskan dari kerangka pemikiran bentuk kesenian seni pertunjukan tradisional di Indonesia. Banyak bentuk pada pemain melakonkan cerita tersebut. Dengan begitu, unsur seni peran atau seni pertunjukan memang mendominasi jenis drama tradisional. Bahkan mungkin dapat dikatakan bahwa drama tradisional dapat disebut seni pertunjukan ansich. Sebaliknya berhadapan dengan drama modern tidaklah demikian. Cerita ditulis dan menjadi milik kreativitas individu. Unsur cerita yang dihasilkan dari rekaan imajinatif pengarang inilah yang mencerminkannya sebagai gendre sastra. Di dalam cerita akan ditemukan peristiwa, alur dan latar, penokohan, dan perwatakan serta konflik-konflik kemanusiaan. Untuk menyampaikan semua itu, pengarang memerlukan sarana bahasa dengan gaya kreativitas individu masing-masing pengarang drama. Kesemua hal itu merupakan unsur pembentukan cerita rekaan fiksional sebagai salah satu gendre sastra. Sedangkan pementasan adalah tahap berikut dari hasil pemahaman terhadap naskah drama. Bentuk drama tradisional sebagai bentuk kesenian yang disebut drama sangat berbeda dengan pengertian bentuk kesenian yang berdimensi sastra dan sekaligus seni pertunjukan.
Pembahasan mengenai drama dalam dimensi sastra dibedakan menjadi beberapa bagian. 1) drama dan fiksional unsur sastra, 2) drama dan struktur yang membentuknya, 3) pengarang dan semesta sebagai sumber penciptaan, 4) unsur intrinsik drama. Pembahasan mengenai drama dalam dimensi sastra diurai lebih lanjut dalam pembahasan jurnal ini.

1.2  Masalah
Adapun masalah yang dibahas dalam analisis ini adalah drama dan struktur yang membentuknya serta tentang teknik menganalisis naskah dalam bentuk karya sastra.

1.3  Tujuan
Berdasarkan dari rumusan masalah di atas, maka Tujuan yang ingin dicapai dalam analisis ini adalah untuk mendeskripsikan drama dan struktur yang membentuknya serta tentang teknik menganalisis naskah dalam bentuk karya sastra.

1.4  Manfaat
Berdasarkan dari tujuan di atas, maka manfaat yang ingin diperoleh dalam analisis ini adalah sebagai berikut.
1.    Penulis dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang drama dan struktur yang membentuknya serta tentang teknik menganalisis naskah dalam bentuk karya sastra.
2.    Pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang drama dan struktur yang membentuknya serta tentang teknik menganalisis naskah dalam bentuk karya sastra.
3.    Sebagai salah satu tugas matakuliah analsis naskah drama

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Drama
Drama merupakan cerita atau tiruan perilaku manusia yang dipentaskan. Hal itu disebabkan oleh tinjauan drama secara etimologi. Kata drama berasal dari bahasa Yunani draomai (Haryawan, 1988: 1) yang berarti berbuat, berlaku, bertindak. Jadi, drama berarti perbuatan atau tindakan. Berdasarkan kenyataan ini drama memiliki unsur seni pertunjukan yang lebih dominan dibandingkan sebagai gendre sastra.
Batasan drama yang hampir sama ditemukan dalam Morris et al (1964:476). Kata drama berasal dari bahasa Greek; tegasnya dari kata kerja dran yang berarti `berbuat` to ack` atau `to do`.. Drama mengutamakan perbuatan, gerak, yang merupakan inti hakikat setiap karangan yang bersifat drama. Maka tidak heran kalau Moulton mengatakan bahwa ``drama adalah hidup yang ditampilkan dengan gerak``, life presented in action. Atau menurut Verhagen yang mengemukakan bahwa ``drama adalah kesenian melukiskan sifat dan sikap manusia dengan gerak (Slametmulyana, 1957:176).
Menurut Ferdinan Brunetiere dan Baklhazar, drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dan harus melahirkan kehendak manusia dengan action dan perilaku. Sedangkan pengertian drama menurut Moulton, drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak, drama adalah menyaksikan kehidupan manusia yang diekspresikan secara langsung.
Dalam the American Dictionary dijelaskan bahwa drama adalah:
1.    Satu karangan dalam prosa atau puisi yang menyajikan dalam dialog atau pantomime suatu ceritera yang mengandung konflik atau kontras seorang tokoh; terutama sekali suatu cerita yang diperuntukan buat dipentaskan di atas panggung; suatu lakon
2.    Cabang sastra yang mengandung komposisi-komposisi yang sedemikian, sebagai subjek; seni yang atau representasi dramatic
3.    Seni yang menggarap lakon-lakon mulai sejak penulisan sampai produksi akhir
4.    Setiap rangkaian kejadian yang mengandung hal-hal atau akibat-akibat yang menarik hati secara dramatic (Barnhart, 1960:365)
Pengertian-pengertian tersebut tidak terlihat perumusan yang mengarahkan pengertian drama pada dimensi sastranya, melainkan hanya kepada seni lakonnya. Padahal, meskipun drama ditulis dengan tujuan untuk dipentaskan tidaklah berarti bahwa semua karya drama yang ditulis pengarang harus dipentaskan. Tanpa dipentaskan sekalipun, karya drama tetap dapat dipahami, dimengerti dan dinikmati. Tentulah pemahaman dan penikmatan terhadap drama lebih pada aspek cerita sebagai ciri gendre sastra dan bukan sebagai seni lakon. Oleh sebab itu, dengan mengabaikan aspek sastra di dalam drama hanya akan memberikan pemahaman yang tidak menyeluruh terhadap drama.
Dalam kamus litaratur dunia, kata drama ditafsirkan dalam berbagai pengertian. Dalam arti yang sangat luas, drama mencakup setiap jenis pertunjukan tiruan perbuatan, mulai dari produksi hamlet, komedi, pantomime, ataupun upacara keagamaan orang primitive. Lebih khusus, mengarah pada lakon yang ditulis untuk dipresentasikan oleh aktor. Lebih menjurus lagi, drama menunjuk pada lakon realis yang sama sekali tidak bermaksud sebagai keagungan yang tragis, tetapi tak dapat dimasukkan dalam kategori komedi.
Drama umumnya dimaksudkan untuk memenuhi pengertian yang wajar, yaitu sesuatu yang harus diinterpretasikan oleh para aktor, dan zaman modern ini, sesuatu itu lebih merupakan suatu percakapan yang harus diucapkan. Bidang umum drama biasanya bertingkat, mulai dari tragedi sampai melodrama, dari komedi sampai farce (Shipley, 1962:105).
Keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa drama adalah:
1.    Drama adalah salah satu cabang karya seni
2.    Drama dapat berbentuk prosa atau puisi
3.    Drama mementingkan dialog, gerak, perbuatan
4.    Drama adalah suatu lakon yang dipentaskan di atas panggung
5.    Drama adalah seni yang menggarap lakon-lakon mulai penulisannya hingga pementasannya
6.    Drama membutuhkan ruang, waktu, dan audiens
7.    Drama adalah hidup yang disajikan dalam gerak
8.    Drama adalah sejumlah kejadian yang memikat damn menarik hati (Tarigan, 2000:72).
Simpulan yang dibuat di atas sudah dapat mewakili batasan drama sebagai karya sastra dan sebagai seni pertunjukan. Batasan drama yang dikenal selama ini yang hanya diarahkan pada dimensi seni pertunjukan atau seni lakon, ternyata memberikan citra yang kurang baik terhadap drama, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Konsepsi bahwa drama adalah peniruan atau tindakan yang tidak sebenarnya, berpura-pura di atas pentas menghasilkan idiom-idiom yang menunjukkan bahwa drama bukanlah hal yang serius dan berwibawa. Pernyataan seperti ``Jangan kamu bersandiwara`` atau ``pemilihan pemimpin negara hanyalah panggung sandiwara`` menunjukkan bahwa istilah drama atau sandiwara dipakai untuk ejekan ketidakseriusan. Dengan demikian, pengertian peniruan harus diluruskan di dalam drama agar tidak disalalahgunakan oleh masyarakat.
Di samping itu, pengertian tiruan amatlah bertentangan dengan hakikat sastra sebagai sebuah kebenaran, keseriusan dan pantas dibicarakan dalam sastra. Drama sebagai gendre sastra seharusnya dipahami bahwa di dalamnya terkandung nilai-nilai kebenaran dan keseriusan, bukan sekadar permainan belaka.

2.2 Pengarang dan Semesta sebagai Sumber Penciptaan
Karya sastra, drama memang tidak menyalin kenyataan, karena proses kreativitas pengarang dan unsur imajinasi yang memprosesnya. Namun, begitu tetap saja karya sastra, drama merupakan permalahan yang mengisyaratkan realitas objektif. Robert Scholes, seperti yang pernah dikutip Junus (1983: 4) mengatakan bahwa orang tidak mungkin melihat suatu realitas tanpa interpretasi pribadi yang mungkin berhubungan dengan imajinasi. Dan orang tidak mungkin berimajinasi tanpa pengetahuan suatu realitas. Karena itu imajinasi selalu terikat pada realitas, sedangkan realitas tak mungkin lepas dari imajinasi. Jauh sebelumnya, Plato dan Aristoteles, meskipun ada perbedaan pendapat di antara keduanya, namun ada kesepakatan bahwa ada hubungan antara karya sastra dan dunia kenyataan atau dunia realitas objektif. Antara keduanya, realitas dan imajinasi, meskipun harus dipahami secara tersendiri, tetapi tetap tidak mungkin keduannya lepas kaitan sama sekali.
Dalam menggambarkan dunia fiksionalitas di dalam drama, pengarang mau tidak mau melakukan kegiatan kreatif. Ia terpaksa mengadakan seleksi terhadap bahan-bahan keseluruhan dari kenyataan yang tak terhingga. Bagaimanapun hal-hal yang akan diungkapkan di dalam drama sebagai suatu teks fiksionalitas mendekati aspek-aspek kenyataan tertentu, walau seluruh sisi karya drama adalah rekaan. Oleh sebab itu, kenyataan dan rekaan dalam karya drama sebagai fiksionalitas tidak terpisah secara mutlak karena keduanya saling membutuhkan dan saling mengisi. Hubungan antara rekaan dan kenyataan di dalam karya-karya drama merupakan hubungan dialektik dan bertangga; peniruan tak mungkin tanpa kreasi, dan kreasi tak mungkin tanpa peniruan. Satu hal yang harus dipahami pada kondisi semacam ini adalah bahwa takaran dan keterkaitan keduanya berbeda-beda menurut kebudayaannya, jenis fiksionalitasnya, zamannya, kepribadian pengarangnya, dan lain-lain.
Untuk memahami keadaan ini, uraian dan perkembangan selanjutnya akan dilandasi berdasarkan rumusan yang disusun seperti tertera pada bagan 1, yaitu tentang klasifikasi unsure drama sebagai karya sastra. Pada hakikatnya klasifikasi ini juga berlaku bagi teks-teks lainnya, termasuk teks-teks naratif – bahkan ini yang utama – atau juga pada fiksi. Klasifikasi drama menurut bagan 1 tersebut, pada intinya, sebagaimana yang telah dikenal dengan sebutan unsur Ekstrinsik. Kedua aspek yang membentuk karya dari karya itu sendiri, biasa disebut dengan istilah unsur Intrinsik.
Meskipun pembicaraan masih berlandaskan pada kedua istilah itu, harus dipahami bahwa ada pemahaman lain tentang apa yang dimaksudkan dengan unsur ekstrinsik dan intrinsik itu. Pemahaman ini terutama menyangkut aspek yang dikandung untuk kedua istilah yang sudah biasa digunakan tersebut. Sebagai unsur, haruslah diasumsikan bahwa secara universal unsur-unsur pembangunan karya – baik ekstrinsik maupun intrinsik – dapat ditemukan setiap karya. Hanya hal-hal yang spesifik saja yang tidak terdapat pada setiap karya, melainkan hanya dimiliki oleh karya-karya tertentu saja. Maka unsur ekstrinsik  dan unsur intrinsik sebagai aspek yang universal sudah seharusnya dapat ditemukan pada setiap karya, atau tidak tetap dapat diidentifikasikan. Asumsi ini tentu tidak berlebihan, karena jika aspek-aspek yang universal berbeda-beda bentuknya pada karya sastra-karya sastra yang sejenis, maka serta-merta sebenarnya aspek-aspek itu tidak dapat lagi disebutkan sebagai aspek yang universal yang dicirikan sebagai unsur pembangunan karya.
Biasanya – karena pemahaman yang didapatkan dan referensi sebeumnya – aspek ekstrinsik dikukuhkan sabagai aspek-aspek sosial budaya yang mempengaruhi isi dan penciptaan karya sastra. Maka keluarlah rumusan bahwa unsur-unsur ekstrinsik dari sebuah karya adalah faktor-faktor ekonomi, social, budaya, politik, atau dengan bahasa yang lebih praktis dan telah lancar disebut oleh lidah rang Indonesia sebagai IPOLEKSOSBUDHANKAM. Apakah memang sedemikian halnya?
Baiklah jika memang permasalahan ipoleksosbudhankam dapat dikategorikan sebagai elemen unsur ekstrinsik sebagaimana yang telah dirumuskan selama ini akan coba dialami rumusan ini. Akan tetapi sebagai unsur, maka ada keharusan aspek-aspek ipoleksosbudhankam harus terdapat di dalam setiap karya, atau setidak-tidaknya dapat diidentifikasi pada karya-karya drama. Akan tetapi bukankah pada kenyataannya, hanya elemen-elemen tertentu saja dari aspek IPOLEKSOSBUDHANKAM yang dapat teridentifikasi. Misalnya, pada drama Mahkamah (Asrul Sani), hanya ditemukan elemen religiositas serta elemen sosial-budaya saja yang dominan. Ternyata permasalahan IPOLEKSOSBUDHANKAM hanya menyentuh sebagian-sebagian saja di dalam karya. Oleh sebab itu, berdasarkan kenyataan ini permasalahan yang selama ini disebut unsur utama ekstrinsik harus diakui hanya merupakan latar permasalahan di dalam teks-teks fiksionalitas termasuk karya drama tentunya. Unsur-unsur itu tidak berpengaruh langsung ke dalam proses penciptaan karya-karya fiksionalitas. Di samping itu hal yang harus dipahami adalah jika teridentifikasi elemen-elemen seperti yang dimaksudkan, misalnya elemen religiositas di dalam Mahkamah, hal itu harus disebutkan sebagai religiositas berdasarkan atau melewati faktor imajinasi Asrul Sani. Masalah sosial-budaya di dalam Tenung, merupakan masalah sosial-budaya berdasarkan imajinasi N. Riantiarno. Masalah-masalah tersebut tidak berpengaruh terhadap drama secara tunggal melainkan masih ada konvensi lain yang terikat dengan proses penciptaan.
Pemahaman atas hal ini mengharuskan munculnya pengertian baru, bahwa yang merupakan aspek utama dari unsur ekstrinsik adalah pengarang sedang aspek pengunjungnya adalah realitas objektif (kenyataan semesta). Kedua aspek ini (pengarang dan realitas objektif) ternyata memang amat mempengaruhi penciptaan karya drama. Pengaruh-pengaruh lain yang memungkinkan munculnya karya drama harus melewati pengarang terlebih dahulu. Pengaranglah yang mengolah semuannya. Aspek utama dalam unsur ekstrinsik ini dapat dikatakan sebagai semua yang berkaitan dengan pemberian makna yang tertuang melalui bahasa sedangkan aspek penunjang adalah segala upaya yang digunakan dalam memanfaatkan bahasa. Faktor-faktor seperti sosial-budaya, ekonomi, politik, agama, hokum, pendidikan, dan lain-lain pada dasarnya tidak berfungsi jika pengarang tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang penting. Apakah pembangunan fisik yang drastis selama pemerintahan Orde Baru mendapat tempat di dalam teks-teks drama? Apakah kemapaman stabilitas dari sudut politik mendapat perhatian besar di dalam teks-teks drama? Sampai sejauh manakah kemajuan teknologi IPTN direkam teks-teks drama? Atau prestasi-pestasi olah raga, kerukunan hidup beragama, serta hal-hal lainnya mendapat perhatian di dalam drama? Sejauh permasalahan itu oleh pengarang tidak dianggap sebagai sesuatu yang “penting”, misalnya sebagai sesuatu yang menyalahi norma-norma dan menyentuh pandangan hidup yang dipegangnya, masalah-masalah tersebut tidak akan pernah terangkat ke dalam drama dengan demikian, sekali lagi, unsur utama yang paling dominan dari ekstrinsik drama adalah pengarang dan bukan masalah-masalah IPOLEKSOSBUDHANKAM, agama, pendidikan, dan lain-lain.
Di dalam realitas objektif (kenyataan semesta) di dalam kaitannya dengan pola kehidupan masyarakat, akan ditemukan norma-norma, ideologi, tata nilai, konvensi bahasa, dan konvensi sastra. Aspek-aspek tersebut mungkin berbeda-beda pada tiap-tiap masyarakat, tiap-tiap zaman, dan tiap-tiap tradisi masyarakat pendukungnya. Yang tidak bisa dibantah tentunya setiap masyarakat tentu mempunyai norma-norma yang diakui bersama, baik secara hokum, adat atau kesepakatan tertentu, dan juga berasal dari agama. Aspek-aspek realitas objektif semacam ini bereaksi pada diri pengarang. Jika pengarang berpendapat aspek-aspek tersebut menarik untuk dipermasalahkannya maka ia akan menulis. Ketika ia menulis, realitas objektif yang menarik perhatiannya itu hanya dijadikan sumber penulisan. Faktor kreativitas yang dilandasi imajinasi, keintelektualan pengarang mempengaruhi dunia ekaan yang diciptakan.
Aspek-aspek yang telah disebutkan dan dibicarakan di atas, jika diidentifikasi pada tiap-tiap karya drama maka aspek-aspek tersebut akan dapat ditemukan. Norma-norma yang diperbincangkan pada tiap-tiap karya mungkin berbeda-beda. Bisa saja teks yang satu mempermasalahkan norma-norma keagamaan, teks yang lain membicarakan norma-norma sosial-budaya, atau hal-hal lainnya. Akan tetapi, yang jelas setiap karya drama mempermasalahkan norma-norma tertentu. Demikian juga aspek-aspek ekstrinsik dari unsur realitas objektif yang lain, misalnya masalah ideologi, tata nilai, serta konvensi-konvensi tertentu. Setiap karya dapat diidentifikasi adanya aspek-aspek tertentu.
Pengarang sebagai manusia yang “berkuasa” atas karya dapat memperlakukan seperti apa tokoh-tokoh yang diinginkannya, latar yang disukai, serta konflik kemanusiaan yang menurutnya menarik. Ke semua itu berhasil disusun karena beberapa faktor yang dimiliki oleh pengarang. Faktor-faktor yang dimaksudkan itu adalah faktor sensitivitas (kepekaan), imajinasi, intelektualitas, serta pandangan hidupnya. Dengan kesensitivitasan atau kepekaannya, pengarang menjadi jeli untuk menangkap, mnginventarisasi aspek-aspek realitas objektif yang pantas diperbincangkan. Namun begitu  kesensitivitasan pengarang amat berkaitan erat dengan panddangan hidupnya. Meskipun Putu Wijaya dan N. Riantiarno sama-sama interes pada permasalahan sosial-politik, sama-sama punya kepekaan akan hal ini, tetapi pengekspresian karya keduanya tidak akan sama. Salah satu sebabnya karena pandangan hidup serta orientasi keduanya berbeda. Di samping hal-hal lain yang dimiliki keduanya bebeda, yaitu imajinasi dan keintelektualan. Semakin terasah, semakin tajam kepekaan pengarang pada aspek realitas objektif. Semakin terlatih, semakin berkembang imajinasi pengarang untuk membuat dunia rekaannya. Semakin menarik dunia rekaan itu, jika keintelektualan pengarang ikut berperan. Dengan begitu karya ciptaannyaakan ikut pula memancing unsur keintelektualan pembaca. Meskipun pengarang menggunakan kemampuan imajinasi dan keintelektualannya, dalam membentuk dunia baru, dunia rekaannya, ia akan tetap menyadarkan “dunia barunya” itu pada realitas objektif. Jika pengarang melalui karyanya berhasil menciptakan norma-norma baru, ideology yang aneh, atau tata nilai yang asing, kesemuanya itu tetap harus disampaikannya melalui konvensi-konvensi yang telah dikenal masyarakat pembaca, misalnya konvensi budaya, konvensi bahasa, dan konvensi sastra. Pengarang tidak mungkin menampilkan sesuatu yang benar-benar baru sama. Karena jika tak satu konvensi pun yang dapat menyebabkan pembaca mampu menghubungkan dunia pembaca dengan dunia pengarang maka karya drama yang diciptakan pengarang menjadi tidak berguna sama sekali, karena karya tersebut tidak bisa dipahami. Oleh sebab itu, sejauh dan sebaik apa pun imajinasi terdapat di dalam karya drama, karya itu akan tetap memberikan “celah” untuk dimasuki oleh pembaca. Lihat, misalnya drama Rumah Tak Beratap dan Langit dekat dan Langit Sehat (Akhudiat), meskipun situasi bahasa dari dialog-dialog drama ini tidak mengikuti pola situasi dialog. Masing-masing tokoh dapat berbicara “seenaknya” dengan bahan yang tidak sama bahkan dengan bahasa yang bermacam-macam, mulai dari bahasa Jawa sehari-hari, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, sampai ke bahasa Prancis juga. Masing-masing bahasa dipergunakan dengan cara seenaknya pula. Meskipun kelihatan “kacau” ia tetap memberikan kemungkinan untuk dipahami oleh pembaca. Dari segi konvensi penulisan drama, mungkin Akhudiat terlihat tidak mematuhi sepenuhnya, namun di dalam masyarakat pada kehidupan sehari-hari dapat ditemukan pola semacam itu. Dengan memahami pula kehidupan masyarakat yang serba kacau tidak hanya dalam pemakaian bahasa, tetapi juga dalam hajat hidup yang lebih urgen, maka drama Akhudiat ini dapat dimengerti. Drama Tenggelam Bulan Terbit Bulan (Noorca Marendra Massardi) dengan cara tertentu mencoba mengkomunikasikan persoalan kelahiran, kematian, nasib, dan takdir dengan cara yang tidak lazim. Lewat tokoh Tembor, Noorca berbicara tentang sesuatu yang abstraksi dengan tokoh Tembor yang “tidak pernah bergeser” dari tempat ia mulai. Memang hal semacam ini cukup rumit dipahami. Namun dalam realitas objektif apakah persoalan-persoalan mudah dipahami? Sama saja. Oleh sebab itu, tetap akan ada penghubung yang dapat dipergunakan pembaca dalam usaha memahami dunia rekaan yang diciptakan pengarang melalui karya drama.
Imajinasi sebagai unsur penting yang dimiliki pengarang sifatnya begitu individualistik. Sesuatu karya yang dihasilkan melalui proses imajinasi yang intensif pasti akan berbeda dari karya lainnya yang dihasilkan oleh pengarang lain, bahkan oleh pengarang yang sama, apalagi pada orang yang berbeda. Oleh sebab itu, hanya pada karya-karya drama yang rendah kadar imajinasinya sajalah kemungkinan ditemukan adanya kesamaan atau kemiripan. Menurut Umar Junus (1983: 7) karya-karya yang kurang menggunakan imajinasi akan cenderung bersifat stereotype. Terjadi hal yang sebaliknya pada karya-karya yang diciptakan dengan menggunakan imajinasi semaksimal mungkin. Karya-karya yang dibangun dengan imajinasi yang sedemikian rupa akan membentuk dan mempunyai dunianya sendiri. Dunia tersendiri yang dibentuk oleh karya drama, menyebabkan karya tersebut dipahami menurut dunianya oleh pembacanya.

2.3 Unsur-Unsur Intrinsik Drama
Dibandingkan dengan fiksi, unsur intrinsik drama dapat dikatakan “kurang sempurna”. Di dalam drama tidak ditemukan adanya unsur pencerita, sebagaimana terdapat di dalam fiksi. Alur di dalam drama lebih dapat ditelusuri melalui motif yang merupakan alasan untuk munculnya suatu peristiwa. Motif di dalam drama menjadi penting, karena aspek ini sudah menjadi perhatian pengarang sewaktu karya drama ditulis. Meskipun dalam menulis pengarang dapat mempergunakan kebebasan daya ciptanya yang dimilikinya, ia tetap harus memikirkan kemungkinan dapat terjadinya laku (action) di pentas. Faktor laku merupakan wujud lakon, dan motiflah yang merupakan landasannya. Aspek inilah yang menyebabkan mengapa drama mempunyai sedikit “keterbatasan” dibandingkan fiksi.
Di dalam fiksi, unsur pemaparan dan pembeberan merupakan sarana ampuh pengarang dalam mengembangkan daya imajinasinya dalam membentuk satuan-satuan peristiwa. Dengan begitu, alur di dalam fiksi terasa lebih mengalir, menyentuh wawasan dan dataran yang lebih tak terbatas jika dibandingkan dengan karya drama. Adanya unsur pemaparan dan pembeberan, menyebabkan fiksi dapat dengan mudah menjelaskan hal-hal yang abstraksi yang terjadi pada diri tokoh. Masalah-masalah yang menyangkut pikiran, perasaan, ide-ide, dan konsep para tokoh dapat dengan mudah didapat pembaca. Ini semua karena adanya pemaparan. Di dalam drama hal semacam ini tidak akan terjadi, kecuali para tokoh “berbicara dan memaparkan” sendiri secara langsung kepada pembaca atau penonton.
Namun begitu, tidaklah berarti bahwa dengan hilangnya unsur pemaparan dan pembeberan, drama menjadi karya yang terbatas sama sekali. Justru pada aspek ini jugalah letak kekuatan karya drama. Membandingkan unsur intrinsik drama dengan unsur intrinsik fiksi buka bertujuan untuk melihat kelemahan dan keunggulan masing-masing unsur, melainkan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih menyeluruh. Bukanlah telah disadari bahwa antara drama dan fiksi – cerpen dan novel adalah karya sastra dengan genre yang berbeda.

1.    Tokoh, Peran dan Karakter
Dalam hal penokohan, di dalamnya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan penamaan, pemeranan, keadaan fisik tokoh (aspek fisikologis), keadaan sosial tokoh (aspek sosiologi), serta karakter tokoh. Hal-hal yang termasuk di dalam permasalahan penokohan ini saling berhubungan dalam upaya membangun permasalahan-permasalahan atau konflik-konflik kemanusiaan yang merupakan persyaratan utama drama. Bahkan di dalam drama, unsur penokohan merupakan aspek penting. Selain melalui aspek inilah aspek-aspek lain di dalam drama dimungkinkan berkembang, unsur penokohan di dalam drama terkesan lebih tegas dan jelas pengungkapannya dibandingkan dengan fiksi.
Tokoh-tokoh yang telah “dipilih” oleh pengarangnya biasanya telah “dipersiapkan” sedemikian rupa. Memang sewaktu karya drama ditulis kemungkinan untuk melencengnya penggambaran tokoh yang telah “dipersiapkan” itu dapat saja terjadi. Akan tetapi, bagaimanapun pengarang tetap akan menjaga agar “keluar jalurnya” sang tokoh tetap tidak terlalu jauh. Bukankah tokoh yang dihadirkan harus “memiliki beban” dalam membangun permasalahan-permasalahan atau konflik-konflik di dalam drama. Jika pengarang membiarkan sang tokoh terlalu mandiri dan bergerak sebebasnya, maka obsesi tertentu yang ada di dalam diri pengarang sewaktu mempersiapkan karya drama akan buyar dan akan digantikan dengan obsesi yang lain. Memang ada saja pengarang yang berkomentar bahwa ia dalam mengarang membiarkan tokoh-tokohnya mandiri dan bebas menentukan nasibnya, tetapi hal semacam ini harus diterima sebagai sesuatu yang bersifat informasi saja. Bagaimanapun peneliti dapat menemukan jawaban apakah tokoh-tokoh drama dibiarkan bebas mandiri oleh pengarangnya atau tetap dipersiapkan untuk memikul beban tertentu. Penemuan itu akan didapatkan di dalam naskah drama. Teks-teks drama akan membuka rahasia tentang hal ini, dan bukan pengarangnya.
Dalam keyakinan bahwa tokoh-tokoh di dalam drama telah “dipersiapkan” sebelumnya, maka hal-hal yang melekat pada seorang tokoh dapat dijadikan sumber data atau sinyal informasi guna membuka selubung makna drama secara keseluruhan.  Faktor-faktor yang dimaksudkan melekat langsung pada tokoh itu adalah antara lain persoalan penamaan, peran, keadaan fisik, keadaan psikis, serta karakternya. Kesimpulan ini diambil berdasarkan asumsi bahwa aspek-aspek penokohan ini akan saling berhubungan dan berkaitan dalam upaya membentuk dan membangun permasalahan dan konflik di dalam drama. Tidak mungkin aspek-aspek ini lepas-lepas sendiri dan tidak saling berkaitan.
Pemilihan aspek penamaan untuk tokoh diniatkan sejak semula oleh pengarang untuk mewakili permasalahan dan konflik yang hendak dikemukakan. Oleh sebab itu, dalam upaya penemuan permasalahan drama, pembaca perlu mempertimbangkan unsur penamaan tokoh. Setidak-tidaknya yang harus disadari pembaca adalah, faktor nama merupakan suatu subsistem dari sistem yang lebih besar. Menurut Junus (1983:9), sistem nama tokoh biasanya dianggap sebagai sesuatu yang periferial bukan sesuatu yang inti, sehingga tidak pernah mendapat perhatian. Padahal sistem nama tokoh di dalam teks-teks fiksionalitas merupakan subsistem dari sistem-sistem lain yang lebih besar.
Di dalam aspek penamaan tokoh, permasalahan gelar yang diberikan kepada tokoh layak diperhitungkan karena termasuk kategori penamaan pula. Nama gelar, nama alias, atau nama olok-olokan dari tokoh dapat memberikan sinyal bagi pemahaman permasalahan dan konflik didalam drama. Nama-nama seperti Haji Anwar, Guru Syaiful, Raden Mas Suryo Kencono, Mbah Slamet, Wak Katok, Neng Cicih, Datuh Meringgih, Kapten Ponco atau Oom Robert. Bisa juga tercakup dalam hal ini adalah panggilan-panggilan tertentu yang menunjukkan keadaan fisik tokoh misalnya Pak Hitam, Oom Buncit, Paman Ompong, Babah Sipit dan lain-lain yang sejenis.
Karena nama tokoh merupakan suatu sistem di dalam drama, ia dapat membatasi, mengikat atau mempengaruhi ruang gerak dan perilaku, sikap, peran para tokoh dalam melakukan motif-motif untuk membangun peristiwa, kejadian, serta konflik-konflik. Akan sulit untuk membiarkan tokoh berbuat seenaknya tanpa mengaitkan dengan faktor nama. Mungkin karena menyadari hal inilah, drama-drama Putu Wijaya seringkali hadir tanpa nama-nama tokoh. Tokoh-tokoh di dalam drama Putu Wijaya hanya diberikan penanda tertentu saja, misalnya seseorang pelayan, petugas I, petugas II, dan lain-lain. Akibatnya tokoh-tokoh yang tidak terkait dengan faktor penamaan tersebut dapat bergerak lebih besar. Tokoh-tokoh drama Putu Bisa berbuat “seenaknya”, lebih bebas, bahkan karakternya dapat melompat-melompat dari suatu situasi ke situasi lainnya.
Satu hal lagi, nama-nama tokoh akan menunjukkan latar tertentu di dalam drama. Warna kedaerahan akan muncul pula dari sistem penamaan pada tokoh-tokoh drama. Jika mendengar nama-nama seperti Sutan Duano, Puti Ambon Sori, atau Ajo Sidi, tentu dengan sendirinya memberikan warna latar Minangkabau. Hal ini disebabkan karena nama-nama tersebut merupakan ciri khas etnis Minangkabau. Akan terasa janggal  jika nama-nama tersebut ternyata dimiliki oleh tokoh-tokoh cerita yang menggambarkan masyarakat etnis Sunda, atau etnis lainnya. Oleh sebab itu, pemilihan nama pada tokoh,, seperti yang dikatakan semula, mau tidak mau harus “dipersiapkan” oleh pengarang.
Tokoh-tokoh yang dihadirkan pengarang, untuk dapat membangun persoalan dan menciptakan konflik-konflik, biasanya melalui peran-peran tertentu yang harus mereka lakukan. Jarang tokoh mempunyai peran tunggal, biasanya tergantung dengan interaksi sosial yang dilakukannya. Perubahan lawan interaksi sosial akan menyebabkan perubahannya peran seorang tokoh. Setiap peran umumnya selalu hadir berpasangan dengan peran lain dalam membentuk suatu permasalahan konflik. Setiap permasalahan atau konflik. Namun beberapa peran itu, tetap hadir dalam dua kelompok peran yang berpasangan.
Seorang tokoh, karena situasi serta lawan interaksi yang berbeda mungkin akan tampil akan tampil dalam peran yang berbeda akan menyebabkan munculnya kondisi karakter yang berbeda-beda. Dari sekian banyak kemungkinan, menurut Robert Scholes (dalam Junus, 1988; dan Elan, 1980) paling tidak dirumuskan sejumlah enam kedudukan peran para tokoh di dalam drama yaitu :
a.    Peran Lion yang dilambangkan dengan, yaitu tokoh atau tokoh-tokoh yang dapat dikategorikan sebagai tokoh pembawa ide. Mungkin dengan istilah lain dapat disebut sebagai tokoh protagonist. Tokoh ini memperjuangkan sesuatu, yang mungkin berupa kebenaran, cinta, atau juga wanita.
b.    Peran Mars yang dilambangkan dengan, yaitu tokoh yang menentang dan menghalang-halangi perjuangan peran Lion  dalam mencapai keinginan dan tujuan yang diperjuangkan tokoh peran Lion tersebut. Biasanya peran Mars juga berkeinginan untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh peran Lion.
c.    Peran Sun yang dilambangkan dengan O, yaitu tokoh atau apa pun yang menjadi sasaran perjuangan Lion dan juga yang ingin mendapatkan Mars.
d.    Peran Earth yang dilambangkan dengan, yang tokoh atau apa pun yang menerima hasil perjuangan Lion atau Mars. Jika Lion berjuang sendiri untuk dirinya sendiri, maka Lion sekaligus berperan sebagai Earth.
e.    Peran Scale yang dilambangkan dengan  , yaitu peran yang menghakimi, memutuskan, menengahi, atau juga menyelesaikan konflik dan permasalahan yang terjadi di drama. Biasanya pertentangan antara Lion dan Mars.
f.     Peran Moon yang dilambangkan dengan  , yaitu peran yang bertugas sebagai penolong. Mungkin saja Moon bertugas menolong Lion, tetapi juga akan ada Moon yang menolong Mars.
Berdasarkan deskripsi tersebut maka dapat dirumuskan kedudukan peran tokoh-tokoh drama Mahkamah sebagai berikut :
Mayor Syaiful Bahri            = Lion
Kapten Anwar          = Mars
Murni                         = Sun
Mayor Syaiful Bahri            = Earth
Kapten Anwar          = Earth
Somad, dan lain-lain = Moon
Citra I, dan Citra II   = Scale
Perumusan kedudukan peran tersebut dapat dilakukan dengan mengamati, mengindentifikasi, dan merumuskan tindakan-tindakan, sebab-sebab mengapa suatu tindakan dilakukan oleh tokoh.
Keadaan fisik tokoh (fisiologi) dapat pula memberikan tuntunan bagi pemahaman drama. Persoalannya, keadaan fisik biasanya berkaitan dengan peran tokoh. Seorang yang berperan sebagai tukang pukul tidak mungkin berfisik kurus kerempeng. Tokoh gadis yang diperebutkan, biasanya tidak berwajah jelek dan memiliki cacat tubuh, melainkan cantik dan menarik. Pencatatan data fisik tokoh dapat membantu interpretasi pembaca dalam merumuskan pemahaman terhadap teks drama.
Penokohan drama-drama modern biasanya tidak statis, melainkan dinamis. Hanya sistem penamaan saja yang sedikit bertahap atau relatif tetap, sedangkan aspek-aspek lainnya selalu berubah. Sehingga keseluruhan aspek tersebut menggambarkan karakter tokoh yang mapan, sejak alur mulai bergulir sampai cerita harus berakhir. Hanya pada tradisi masyarakat yang terkungkung saja penggambaran tokoh sastranya yang bersifat kaku dan statis. Pada sastra lama, tokoh Rama misalnya, sejak pembaca mengetahui tokoh tidak pernah menemukan karakter yang cacat, sementara tokoh Rahwana tidak pula ditemukan sisi baiknya. Penggambaran karakter hanya bersifat hitam putih.
Meskipun penokohan drama-drama modern lebih dinamis, namun tetap ada keterkaitan antara keadaan fisik tokoh dan keadaan psikisnya. Kedua data ini akan membantu pembaca dalam mendapatkan gambaran secara keseluruhan karakter tokoh. Bagi para actor, pemahaman akan hal ini membantu pula dalam memerankan tokoh-tokoh tersebut di pentas.
Permasalahan dan konflik kemanusiaan di dalam drama tidak akan muncul melalui tokoh, tetapi dari pertemuan dua peran yang berpasangan atau yang berlawanan. Jadi pada prinsipnya seorang tokoh akan memunculkan beberapa permasalahan sesuai dengan peran yang “dibebankan” pengarang kepadanya. Dalam menjalankan fungsinya sebagai peran tertentu, tokoh dituntut untuk menciptakan kesesuaian karakter dengan peran itu. Amat tidak logis jika karakter tokoh selalu monoton dan seragam untuk peran yang berbeda-beda. Dengan menghadirkan tindakan-tindakan dan perilaku yang berulang dan di “pola” dengan cara tertentu, pengarang dapat memberikan sinyal, tokoh, peran dan karakter seperti apa yang sedang ia tampilkan kepada pembacanya.

2.    Motif, Konflik, Peristiwa dan Alur
Permasalahan-permasalahan drama, di samping dapat dibangun melalui pertemuan dua tokoh atau sekelompok tokoh yang memerankan peran yang berbeda, juga dapat dibangun melalui laku. Pada segi pementasan, unsur laku terasa lebih jelas dan konkret, dibandingkan pada teksnya. Hal ini menjadi jelas karena unsur laku di atas pentas merupakan tindakan pemvisualisasian.
Laku dapat dipahami sebagai gerakan atau tindakan tokoh-tokoh. Gerakan atau tindakan-tindakan para tokoh berikutnya dapat membentuk suatu peristiwa. Pada hakikatnya pun, gerakan atau tindakan para tokoh itu sendiri merupakan suatu kejadian yang dapat dikaitkan telah berlangsung jika seseorang tokoh atau sekelompok tokoh melakukan kegiatan pada suatu tempat dan pada suatu waktu tertentu.
Peristiwa di dalam drama merupakan salah satu unsurnya. Sulitlah dibayangkan sebuah karya fiksional disampaikan tanpa adanya peristiwa atau kejadian. Dalam memahami peristiwa didalam drama  harus disadari sepenuhnya  bahwa peristiwa tidaklah terjadi begitu saja, secara tiba-tiba atau serta merta. Setiap peristiwa yang berlaku atau yang terjadi selalu mempunyai hubungan sebab akibat. Sesuatu peristiwa akan terjadi jika disebabkan oleh sesuatu hal atau hal yang menjadi alasan mengapa peristiwa itu terjadi. Di samping itu, setiap peristiwa yang berlaku akan menimbulkan akibat tertentu yang mungkin saja berupa munculnya peristiwa-peristiwa baru.
Usaha memahami drama sebagai genre sastra mengharuskan pembaca memahami peristiwa-peristiwa yang terdapat didalam teks drama, sebab munculnya peristiwa, serta akibat dari peristiwa tersebut.  Peristiwa-peristiwa di dalam drama pada akhirnya merupakan suatu totalitas, namun begitu hakikatnya, peristiwa besar itu dibangun oleh satuan-satuan peristiwa yang lebih kecil.
Peristiwa di dalam drama terjadi karena didukung oleh tokoh, tetapi persoalannya bukan tokoh itu sendiri, melainkan apa yang dilakukannya. Oleh karena itu, usaha untuk memahami peristiwa di dalam drama adalah dengan memperhatikan tindakan-tindakan dan perbuatan para tokoh. Akan tetapi harus disadari pula bahwa pengamatan atas satu satuan peristiwa tidaklah sesederhana itu masih ada kaitan yang erat antara tindakan atau perubahan para tokoh itu dengan tokoh sebagai pengertian pelaku di dalam drama, dengan tempat dan ruang, serta dengan persoalan yang berhubungan dengan waktu atau kala. Dari kaitan antara hal-hal yang telah disebutkan itu, dapat disimpulkan bahwa satuan-satuan peristiwa harus mempunyai kesatuan pelaku, tindakan atau perbuatan, tempat serta waktu tertentu. Oleh karena itu, dapat ditarik benang merahnya bahwa perubahan pelaku (para tokoh; seorang atau sekelompok orang) meskipun melakukan tindakan atau perbuatan yang sama, ditempat dan waktu yang sama, sudah merupakan peristiwa yang lain dan tidak dapat disatukan dengan peristiwa sebelumnya. Dengan begitu, meskipun pelaku masih tetap sama  (seorang atau sekelompok orang) tetapi melakukan tindakan atau perbuatan yang berbeda, di tempat dan waktu yang sama, harus dirumuskan bahwa peristiwa yang baru telah terjadi. Jika demikian persoalannya telah menjadi jelaslah bahwa sebuah peristiwa ditentukan oleh empat unsur secara simultan yakni pelaku, tindakan, tempat serta waktu. Untuk mudahnya, dalam usaha menemukan satuan-satuan peristiwa didalam drama, pembaca dapat mengajukan pertanyaan tentang siapa; mengapa; dimana dan kapan atau bilamana ?. Dari data tersebut pembaca mengetahui bahwa sudah lengkapilah keempat informasi tentang unsur-unsur yang dipertanyakan pembaca untuk merumuskan sebuah satuan peristiwa. 
Seperti yang disampaikan pada awal sub bab pembicaraan ini, suatu tindakan, perbuatan atau laku tidak mungkin dilakukan begitu saja dan tiba-tiba oleh para tokoh. Harus ada alasan (logika imajinatif) tentang mengapa laku tersebut dilakukan oleh tokoh. Alasan tentang mengapa suatu laku atau juga suatu peristiwa terjadi dapat disebutkan dengan istilah motif. Karena laku merupakan perwujudan drama, maka laku atau satuan peristiwa harus dijelaskan melalui kerangka unsur dan totalitas mengapa hal tersebut terjadi. Oleh sebab itu, motif  merupakan dasar laku, keseluruhan stimulus dinamis yang menjadi sebab pelaku (seorang atau sekelompok orang) mengadakan respons-respons. Menurut Oemarjati (1971: 63) motif dapat muncul dari berbagai sumber, antara lain:
a)      Kecenderungan-kecenderungan dasar (basic instinct) yang dimiliki manusia, misalnya kecenderungan untuk dikenal, untuk memperoleh suatu pengalaman tertentu, untuk pemuasan libido tertentu.
b)      Situasi yang melingkupi manusia, yaitu keadaan fisik dan keadaan sosial.
c)      Interaksi sosial yaitu rangsangan yang ditimbulkan karena hubungan sesama manusia.
d)      Watak manusia itu sendiri, sifat-sifat intelektualnya, emosionalnya, persepsi dan resepsinya, dan ekspresif serta sosial kulturalnya.
Dengan mengetahui motif, maka pembaca mendapat dasar yang lebih kuat dalam menginterpretasikan suatu laku atau suatu peristiwa dalam drama.  Mungkin saja suatu tindakan yang secara universal dilakukan oleh seorang tokoh dapat dinilai tidak baik, tetapi jika motif yang mendasari tindakan tokoh tersebut beralasan, maka mungkin tindakan tokoh yang secara universal itu salah, oleh pembaca dapat dibenarkan, membunuh merupakan tindakan yang tidak benar bahkan salah. Namun dengan motif tertentu yang beralasan, membunuh mungkin dapat diinterprestasikan sebaliknya.
Rumusan mengenai sebuah peristiwa sekaligus motif dari peristiwa tersebut bisa didapat melalui pembacaan satu ujaran (dialog) dari satu tokoh. Tentu saja tidak menutup kemungkinan bahwa rumusan peristiwa itu didapatkan dari pembacaan terhadap beberapa dialog dari seorang tokoh atau dari beberapa  orang tokoh. Namun harus diingat juga bahwa pada drama-drama didapatkan pula hanya dari sebuah perkataan saja. Informasi yang digali dari teks drama untuk menyusun sebuah peristiwa harus juga memperhatikan kespesifikan teks dramanya. 
Jika sebuah teks drama dibaca dengan cermat, maka akan ditemukanlah berpuluh-puluh peristiwa, bahkan mungkin saja sebuah teks drama dibangun oleh ratusan peristiwa. Agar pembaca tidak mengalami kesulitan untuk memahami peristiwa-peristiwa yang membentuk dan membangun drama itu, pembaca haruslah menyadari bahwa peristiwa yang membangun drama atau tidak sama fungsinya meskipun beberapa dapat pula bersamaan fungsinya. Pembaca kemungkinan akan menemukan adanya peristiwa yang berulang-ulang tersebut pula bersamaan fungsinya. Pembaca kemungkinan akan menemukan adanya peristiwa yang berulang-ulang dalam satu teks drama. Peristiwa yang berulang-ulang tersebut dapat dikelompokkan sebagai peristiwa yang sekelompok. Meskipun di sisi lain pembaca harus punya perhatian tertentu mengapa peristiwa itu mendapat prioritas diulang-ulang oleh pengarang.
Jika sebuah peristiwa atau beberapa peristiwa yang dapat disatukelompokkan itu dihubung-hubungkan, maka akan terlihatlah susunan peristiwa secara kausalitas (hubungan sebab-akibat). Sebuah peristiwa akan menjadi penyebab atau akibat dari peristiwa yang lain atau sekelompok peristiwa yang lain. Pada akhirnya pembaca akan menemukan sebuah peristiwa atau sekelompok peristiwa akan berhubungan semuanya tanpa ada peristiwa yang terlepas. Hubungan antara satu peristiwa atau sekelompok peristiwa dengan peristiwa yang lain disebut sebagai alur atau plot. Alur sebagai rangkaian peristiwa-peristiwa atau sekelompok peristiwa yang saling berhubungan secara kausalitas akan menunjukkan kaitan sebab-akibat. Jika hubungan kausalitas peristiwa terputus dengan peristiwa yang lain maka dapat dikatakan bahwa alur tersebut kurang baik. Alur yang baik adalah alur yang memiliki kausalitas sesama peristiwa yang ada di dalam sebuah (teks) drama.
Karakteristik alur drama, jika ingin membedakannya, mungkin dapat dikategorikan dengan istilah alur konvensional dan alur non konvensional. Persoalannya, terdapat perbedaan penyajian alur oleh pengarang-pengarang drama Indonesia pada tahun-tahun awal dengan drama-drama yang lebih mutakhir. Berdasarkan kenyataan ini tidaklah dapat divonis bahwa alur itu selalu dimulai dari perkenalan, peristiwa bergerak ke konflik dan kemudian menurun dalam arti kata penyelesaian. Pengertian alur konvensional disini adalah jika peristiwa yang disajikan lebih dahulu selalu menjadi penyebab munculnya peristiwa yang hadir sesudahnya. Peristiwa yang muncul kemudian selalu menjadi akibat dari peristiwa yang terjadi lebih dahulu menjadi akibat dari peristiwa yang terjadi sesudahnya, sedangkan yang dimaksudkan dengan alur yang nonkonvensional adalah alur yang dibentuk berdasarkan rangkaian peristiwa yang tidak berdasarkan runutan sebagaimana alur konvensional. Tidak berarti alur nonkonvensional tidak mempunyai keteraturan. Selintas memang alur yang demikian sepertinya tidak teratur, tetapi harus disadari bahwa dalam bentuk yang demikian teratur terbentuk didalamnya.
Drama-drama Indonesia yang terbit lebih awal, katakan saja seperti drama-drama yang ditulis oleh Umar Ismail dan beberapa pengarang yang seangkatan dengannya selalu menampilkan jenis alur konvensional.
Karakteristik alur drama, jika ingin membedakannya, mungkin dapat dikategorikan dengan istilah alur konvensional dan alur nonkonvensional. Persoalannya, terdapat perbedaan penyajian alur oleh pengarang-pengarang drama Indonesia pada tahun-tahun awal dengan drama-drama yang lebih mutakhir. Berdasarkan kenyataan ini tidaklah dapat divonis bahwa alur itu selalu dimulai dari perkenalan, peristiwa bergerak ke konflik dan kemudian menurun dalam arti  kata penyelesaian. Pengertian alur konvensional disini adalah jika peristiwa yang disajikan lebih dahulu selalu menjadi penyebab munculnya peristiwa yang hadir sesudahnya. Peristiwa yang muncul kemudian selalu menjadi akibat dari peristiwa yang terjadi sesudahnya, sedangkan yang dimaksudkan dengan alur yang nonkonvensional adalah alur yang dibentuk berdasarkan rangkaian peristiwa yang tidak berdasarkan rangkaian peristiwa yang tidak berdasarkan runutan sebagaimana alur konvensional. Tidak berarti alur nonkonvensional tidak mempunyai keteraturan. Selintas memang alur yang demikian seperti tidak teratur, tetapi harus disadari bahwa dalam bentuk yang demikian teratur terbentuk didalamnya.
Drama-drama Indonesia yang terbit lebih awal, katakan saja seperti drama-drama yang ditulis oleh Umar Ismail dan beberapa pengarang yang seangkatan dengannya selalu menampilkan jenis alur konvensional.
Tentu tidak dapat disimpulkan bahwa alur yang satu lebih baik dari alur yang lain. Masing-masing mempunyai fungsi dan peran tersendiri, terutama dengan kaitan teks dramanya. Sebagai salah satu unsur yang membangun drama, alur tidak mungkin diabaikan. Meskipun hakikatnya alur pada drama merupakan sesuatu yang terpusat pada laku, tidaklah berarti unsur ini menjadi lebih penting.
Jika alur dilihat dalam sebuah bagan kausalitas, maka akan ditemukan sebuah atau sekelompok peristiwa yang dominan berfungsi sebagai penyebab munculnya peristiwa-peristiwa lain. Permasalah drama haruslah dicari pada peristiwa yang dominan yang menjadi penyebab munculnya konflik. Peristiwa atau kelompok peristiwa yang mendominasi peristiwa lain, yang menyebabkan muncul konflik pada drama, merupakan inti permasalahan drama yang hendak diketengahkan pengarang. Melalui dialog, tindakan dan laku para tokoh, pengarang seolah-olah hendak berkata “Perhatikanlah peristiwa ini yang menjadi penyebab beberapa peristiwa lainnya yang akhirnya bermuara pada terciptanya konflik”.
Di dalam kehidupan nyata sehari-hari, konflik biasanya gawat dan sulit. Konflik yang amat memuncak mungkin akan menyebabkan frustasi orang yang mengalaminya. Tidak tertutup kemungkinan tokoh yang mengalami konflik yang dahsyat itu memilih jalan pintas untuk segera mengakhiri konfliknya. Bisa jadi dia bunuh diri. Di dalam drama, biasanya konflik tidak segera diakhiri oleh pengarang. Kalau masih bisa pengarang mempertahankannya sebagai suspens. Jika perlu, konflik yang telah gawat dan sulit tetap terus didr amatisir. Persoalannya, bukan pengarang ingin berlebih. Tanpa konflik rasanya drama tidak bernilai apa-apa, meskipun ada beberapa teks drama yang ditulis akhir-akhir ini tidak lagi menitikberatkan konflik secara harfiah di dalamnya. Tokoh-tokoh yang berkarakter sebagai pivotal caracters (tokoh protagonist dan antagonis) yang biasanya berfungsi sebagai pencetus ide konflik mulai diabaikan. Namun begitu tidaklah berarti drama-drama tersebut sama sekali tidak memiliki konflik, tetapi konflik dihadirkan dalam bentuk lain, kecenderungan menciptakan konflik batin semakin menonjol. Pertentangan dan “bentrokan” dapat saja dimunculkan pada seorang tokoh.
Di dalam teks-teks drama dalam pengertian universal dan konvensional konflik dapat dinilai sebagai puncak dari perselisihan antara kepentingan pihak protagonist dan pihak antagonis. Kata lain untuk hal ini biasanya pula disebut dengan klimaks. Bila telah mencapai titik ini, kegawatan dan pertentangan umumnya tidak diperhebat atau diperluas lagi, tetapi dihentikan atau dipereda. Pengakhiran konflik dapat saja dengan memberikan keberuntungan pada satu pihak tertentu. Hal ini berarti keruntuhan atau bencana bagi pihak lainnya. Pada drama-drama tragedi (terutama drama-drama tragedy Yunani Kuno), tokoh protagonisnya yang sering kali mengalami keruntuhan atau kemalangan. Jadi, tak menjadi soal pihak mana yang beruntung dan pihak mana yang malang, yang jelas konflik mesti “diselesaikan” dengan cara yang “biasa” atau dengan cara lain yang “tidak biasa”.
Pembaca mestilah menyadari bahwa konflik-konflik di dalam drama terletak di antara kejadian-kejadian atau peristiwa yang membangun drama. Konflik mungkin saja merupakan satu peristiwa atau sekelompok peristiwa mana mempunyai fungsi sejenis. Oleh sebab itu, pembaca harus jeli menangkap peristiwa mana atau kelompok peristiwa mana yang dapat dikategorikan sebagai konflik drama. Jika pembaca berhasil menemukan dan memahami konflik suatu drama, berarti pembaca dapat dikatakan telah menguasai dan memahami permasalahan utama teks drama tersebut.
Dengan disadari bahwa konflik terletak pada kejadian atau peristiwa, maka pembaca tidak mungkin mengabaikan motif begitu saja. Motif juga menjadi sangat penting dan harus ditemukan dengan cermat. Motif memberikan dasar yang kokoh bagi pembaca untuk menginterpretasikan konflik drama. Di samping itu, akibat dari konflik juga dapat membaca temukan pada satuan-satuan peristiwa yang membangun drama itu. Akibat dari konflik menarik pula ditemukan dan dikaji guna penjelasan drama secara menyeluruh. Sesuatu konflik mungkin saja disebabkan oleh suatu motif yang terdiri dari beberapa peristiwa atau kejadian. Sekelompok kejadian itu kemudian membentuk suatu kepaduan yang mempunyai fungsi yang sama hingga terciptanya konflik tersebut. Makin banyak motif yang ditemukan untuk mendukung asumsi tentang konflik, maka akan semakin memberikan keyakinan bahwa asumsi pembaca tentang konflik suatu drama adalah tepat  dan benar. Hal ini disebabkan semua peristiwa yang membangun drama akan “direkayasa” sepenuhnya oleh pengarang untuk bermuara kepada terciptanya konflik drama.

3.    Latar dan Ruang
Latar merupakan identitas permasalahan drama sebagai karya fiksionalitas yang secara samar diperlihatkan penokohan dan alur. Jika permasalahan drama sudah diketahui melalui alur atau penokohan, maka latar dan ruang memperjelas suasana, tempat serta waktu peristiwa itu berlaku.  Latar dan ruang di dalam drama memperjelas pembaca untuk mengidentifikasikan permasalahan drama.
Secara langsung latar berkaitan dengan penokohan dan alur. Sehubungan dengan itu, latar harus saling menunjang dengan alur dan penokohan dalam membangun permasalahan dan konflik. Latar yang konkret biasanya berhubungan dengan tokoh-tokoh yang konkrit dan peristiwa-peristiwa yang konkret. Sebaliknya latar yang abstrak akan berhubungan dengan peristiwa yang abstrak dan tokoh-tokoh yang abstrak pula. Dengan begitu, perumusan masalah yang dihasilkan juga abstrak.
Berdasarkan kenyataan ini, maka jelaslah bahwa kedudukan latar di samping penokohan dan alur di dalam drama sama pentingnya. Latar ikut membangun permasalahan drama dan menciptakan konflik. Bagi pembaca, latar haruslah dipandang sebagai suatu unsur yang mengarahkan dan memperjelas permasalahan drama. Alur masih netral mengungkapkan peristiwa-peristiwa sebagai bagian dari permasalahan, latar memperjelas keadaan, suasana, tempat dan waktu terjadinya peristiwa. Demikian juga dengan penokohan yang ada kalanya masih mengambang, maka latarlah yang memperjelasnya.
Unsur-unsur naratif yang dimasukkan pengarang ke dalam drama bagaimana akan dibatasinya juga. Persoalannya, jika unsur naratif terlalu mendominasi  drama, maka unsur perbuatan, tindakan, serta kejadian akan hilang. Tentunya hakikat drama akan terganggu pula. Oleh sebab itu, bagaimanapun pengarang tidak akan mau terperangkap untuk bernarator pada teks drama yang ditulisnya. Di samping akan mengganggu hakikat drama, jika terlalu banyak diceritakan maka keterkaitan pembaca untuk menggambarkan imajinasi pentas akan kendur, yang tentu saja akan mempengaruhi bentuk pementasannya, jika teks semacam ini dipentaskan.
Suatu tidak perlu bertele-tele sudah menjadi ciri teks drama. Hal ini sudah cukup membantu pembaca untuk menangkap peristiwa inti yang menjurus kepada “apa yang ingin dibicarakan drama”. Akan lain persoalannya seandainya pembaca berusaha menemukan permasalahan fiksi melalui satuan-satuan peristiwa, sebagaimana dilakukan terhadap drama. Cerpen atau novel misalnya, dibandingkan drama mempunyai kemungkinan yang besar untuk mengulur-ulur serta memperpanjang peristiwa inti dengan peristiwa-peristiwa sampingan yang dihadirkan sekadar pelengkap belaka dibandingkan drama. Hakikat drama dua dimensi itu tidak memungkinkan peristiwa atau konflik diulur-ulur.  Jika itu terjadi maka tidak akan ada penonton yang dapat bertahan menyaksikan pementasan drama itu.
Ruang merupakan unsur lain drama yang jelas berkaitan dengan latar. Ruang juga menyangkut tempat dan suasana. Namun begitu, sukar untuk menganalisis ruang tanpa menghubungkannya dengan persoalan pementasan. Membicarakan ruang hanya menitikberatkan drama sebagai genre sastra belaka memberikan pemahaman yang tidak menyeluruh. Oleh sebab itu, bukanlah berlebihan  jika untuk memahami persoalan ruang di dalam drama, pembaca menghubungkannya dengan pementasan. Persoalannya, pentas terjadi di dalam suatu ruang tertentu, tidak dapat pula pembaca dengan cara begitu saja mencampuradukkan antara teks drama dengan pementasan. Yang menarik untuk diselidiki adalah ungkapan-ungkapan yang terdapat didalam teks drama yang mengandung indikasi-indikasi tentang ruang. 
Di dalam teks-teks naratif dapat dipaparkan pemandangan-pemandangan yang luas, sebuah panorama. Di dalam drama pemaparan yang semacam itu tidak mungkin ditemukan, karena hakikat drama sebagai karya yang ditulis untuk dipentaskan. Jika pemaparan yang terdapat di dalam teks-teks naratif ingin jika dimasukkan ke dalam teks drama mungkin bisa juga, tetapi pengarang mungkin menggunakan akal-akalan. Menurut Luxemburg dan kawan-kawan (1984:173) di dalam teks drama sebenarnya dimungkinkan untuk memasukkan hal-hal yang bersifat naratif yang mengisahkan suatu ruang yang lebih luas, bahkan terdapat juga kemungkinan vokalisasi. Di dalam teks drama dapat dilakukan, misalnya dengan menempatkan suatu kejadian tempat seorang tokoh melihat keluar, melalui jendela, dari tempat ketinggian seperti balkon, dan lain-lain. Teknik seperti ini biasanya disebut dengan teichoscopie.
Selain dari hal-hal yang telah diungkapkan di atas, teknik untuk menampilkan ruang di dalam teks drama juga dapat ditampilkan melalui perbuatan atau laku para tokoh. Hal ini tentu akan semakin jelas jika laku itu telah menjadi tindakan konkret di atas pentas. Jadi, tidak hanya melalui ucapan-ucapan dan dialog-dialog para tokoh saja orang dapat ditampilkan didalam teks drama.

4.    Penggarapan Bahasa
Di dalam sebuah drama, dialog merupakan situasi bahasa utama. Namun begitu, pengertian penggarapan bahasa di sini bukanlah tentang dialog itu sendiri, melainkan bagaimana bahasa dipergunakan pengarang sehingga terjadi situasi bahasa. Bagaimana bahasa dipergunakan barangkali menyangkut tentang gaya. Mungkin lebih tepat jika yang dimaksudkan dengan penggarapan bahasa adalah biasa disebut dengan style.
Pembicaraan tentang gaya bahasa menyangkut kemahiran pengarang mempergunakan bahasa sebagai medium drama. Penggunaan bahasa tulis dengan segala kelebihan dan kekurangannya harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pengarang. Penggunaan bahasa harus relevan dan menunjang permasalahan-permasalahan yang hendak dikemukakan; harus serasi dengan teknik-teknik yang digunakan; dan harus serasi dengan teknik-teknik yang digunakan; dan harus tepat merumuskan alur, penokohan, latar dan ruang, dan tentu saja semua itu bermuara pada ketepatan perumusan tema atau premise teks drama.
A. Teeuw (1984: 26) menyebutkan tujuh ciri bahasa tulis. Di dalam ketujuh ciri bahasa tulis itu terkandung keunggulan dan kelemahannya. Bahasa tulis jika dibandingkan dengan bahasa lisan telah kehilangan unsur penunjang, seperti isyarat ekspresi, intonasi serta peragaan. Namun begitu, sebenarnya di dalam kekurangan itu terdapat celah untuk pengarang yang kreatif dapat menyampaikan permasalahan-permasalahan drama. Pengarang diharapkan harus mengungkapkan permasalahan secermat dan seteliti mungkin, sehingga tersusunlah bahasa yang rapi dan indah sebagai salah satu ciri karya sastra. Dengan kreativitasnya, pengarang memanfaatkan kekurangan bahasa tulis itu untuk menciptakan situasi sastra yang ambigu yang juga menjadi ciri khas karya sastra.
Gaya bahasa cenderung dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu penegasan, pertentangan, perbandingan dan sindiran. Sebagaimana di dalam karya sastra lainnya, di dalam drama para pengarang pun memanfaatkan hal ini. Tentu dengan memperhatikan kekhususan karakteristik drama.  Masing-masing jenis itu dapat pula diperinci lebih lanjut, misalnya metafora, personifikasi, asosiasi, paralel, dan lain-lain untuk jenis bahasa perbandingan, ironis, sarkas, dan sinis untuk jenis gaya bahasa sindiran; pleonasme, repetisi, klimaks, retoris dan lain-lain untuk jenis gaya bahasa penegasan, dan paradoks, antitesis, dan lain-lain, untuk jenis gaya bahasa pertentangan. Penggunaan jenis gaya bahasa ini akan membantu pembaca mengidentifikasi perwatakan tokoh. Tokoh yang menggunakan gaya bahasa penegasan dalam ucapan-ucapannya tentu akan berbeda letaknya dengan tokoh yang menggunakan gaya bahasa sindiran ataupun pertentangan dan perbandingan.
Pemberian ciri khas gaya bahasa seseorang tokoh melalui ucapan-ucapan, dialog-dialog, oleh pengarang sangat penting diperhatikan oleh pembaca. Usaha untuk memahami drama satu diantaranya dengan mengamati ciri khas gaya bahasa para tokoh yang “dibentuk” pengarang. Misalnya tokoh yang suka (ditentukan) menggunakan gaya bahasa pertentangan lebih cenderung sebagai tokoh antagonis dan berwatak pembangkang. Tokoh yang menggunakan  gaya bahasa sindiran akan memberi petunjuk bahwa tokoh tersebut berwatak “penakut” tidak berani berterus  terang atau tidak berani tegas dalam menyampaikan pikirannya. Tokoh yang suka menggunakan bahasa penegasan akan memberikan petunjuk pula bahwa setidak-tidaknya tokoh tersebut merupakan tokoh yang berpikiran dan berpandangan serius dan mungkin sekali penuh idealis.  
Penggarapan bahasa di dalam drama akan memberikan indikasi lain tentang keberadaan unsur-unsur yang berikatan erat dengan latar drama, misalnya hal-hal hubungan dengan latar drama, dengan indikasi suasana, waktu, dan tempat. Jika di dalam teks drama ditemukan gaya senisme yang digunakan pengarang, mungkin akan memberikan indikasi tentang suatu keadaan sewenang-wenangnya kekuasaan, ataupun gaya simbolisme yang berhubungan dengan suasana keprihatinan. Oleh sebab itu, penggarapan  bahasa oleh pengarang di dalam drama merupakan bagian penting untuk diselidiki guna menunjang pemahaman informasi-informasi teks drama dengan baik dan benar.
Jika penilaian berhasil atau tidaknya sebuah karya drama dalam kapasitasnya sebagai genre sastra dari sudut penggarapan bahasa pengarang, maka haruslah kekhasan gambaran tokoh dari ucapan dan dialog-dialognya menjadi tolok ukur. Jika seorang tokoh berada dalam situasi dan peran yang berbeda, maka penggunaan gaya bahasanya juga harus berbeda.  Secara rasional tokoh laki-laki tidaklah sama penggunaan gaya bahasanya dengan tokoh wanita. Tokoh yang berperan sebagai anak akan berbeda bahasanya dengan perannya saat menjadi orang tua; anak lelaki berbeda bahasanya dengan anak perempuan; begitu pula orang tua yang menghadapi anaknya yang masih kanak-kanak berbeda bahasanya dengan orang tua menghadapi anaknya yang telah remaja ataupun dewasa; cara mengungkapkan rasa cinta berbeda antara pria dan wanita; perempuan dewasa berbeda ungkapan rasa cintanya dengan gadis remaja, dan seterusnya.
Variasi dan pengembangan dari perbedaan-perbedaan bagaimana seharusnya tokoh berbahasa dapat diikuti berdasarkan pola hubungan peran dan penokohan. Pada hakikatnya, bahasa yang digunakan oleh tokoh-tokoh peristiwa tersebut, kesemuanya merupakan kemahiran pengarang dalam menetapkan pilihan kata dan aturan kalimatnya.
Penggambaran watak tokoh yang monoton memang berkaitan dengan bagaimana unsur bahasa digarap oleh pengarang. Pengarang yang kurang mahir menggarap bahasa selain menimbulkan kemonotonan, juga akan menyebabkan tokoh-tokoh tidak kelihatan matang. Beberapa pengarang besar drama seperti Sophokles dan Shakespeare jika diamati bagaimana mereka menggarap bahasa merupakan contoh konkrit tentang penggarapan bahasa yang baik. Oleh sebab itu membaca teks-teks drama yang digarap secara apik unsur bahasanya terasa tidak membosankan. Di pihak lain bahasa yang digarap apik juga menyebabkan peristiwa berjalan  mulus dan mengalir tanpa tersendat-sendat. Di samping itu, hal-hal semacam ini dapat pula membangkitkan imajinasi pembaca terhadap hal-hal yang diperbincangkan para tokoh didalam teks drama.

5.    Tema dan Amanat
Tema dan amanat dapat dirumuskan dari berbagai peristiwa, penokohan dan latar. Tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya. Oleh karena itu, tema merupakan hasil konklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar. Dalam sebuah drama terdapat banyak peristiwa yang masing-masingnya mengemban permasalahan, tetapi hanya ada sebuah tema sebagai intisari dari permasalahan-permasalahan tersebut. Permasalahan ini dapat pula muncul melalui perilaku-perilaku para tokoh ceritanya yang teait dengan latar dan ruang. Amanat merupakan opini, kecenderungan dan visi pengarang terhadap tema yang dimemukakannya. Amanat dalam drama dapat terjadi lebih dari satu asal kesemuanya terkait dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik atau sejalan dengan teknik pencarian tema. Oleh sebab itu, amanat juga merupakan kristalistik dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, latar dan ruang cerita.
Pencarian tema dan amanat hanyalah diperlukan bagi pelajar, pembaca atau kritikus pemula. Bagi peneliti dan kritikus hal semacam pencarian tema dan amanat bukanlah hal yang penting dan utama. Peneliti dan kritikus bertugas menemukan sebanyak mungkin permasalahan kemanusiaan dan nuansa sosial budaya masyarakat di dalam teks drama yang dibacanya serta bagaimana kemungkinan pementasannya sehingga lebih komunikatif dan diterima. Selanjutnya menjelaskan sejauh mana permasalahan tersebut berkaitan dengan tata nilai, norma-normal ideal dan praktis yang sedang berlangsung dan mungkin akan berlangsung di tengah masyarakat permbaca. Sejauh mana permasalahan tersebut mempunyai dampak positif bagi pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, sejauh mana permasalahan tersebut menunjang penikmat drama mengambil manfaat bagi kehidupan masa kini dan masa yang akan datang.
Tema dan amanat tidak diperlukan dan tidak dipentingkan dalam analisis drama, karena bukanlah itu tujuan pengarang mengungngkapkan permasalahan fenomena budaya. Pencerita drama dilakukan untuk memperluas wawasan kemanusiaan, memperluas budi pekerti, memperpeka diri terhadap dilema kehidupan manusia, mengundang pembaca untuk toleran dan bersimpati dengan permasalahan kemanusiaan, mengajak pembaca untuk melakukan tamasya spiritual dan estetis sambil melirih permasalahan individu dan lingkungannya, memberikan tanggapan psikis kepada pembaca terhadap persoalan yang selama ini luput dari pengamatannya, memberikan kenikmatan psikis dengan membimbing imajinasi pembaca, dan lain-lain. Dengan demikian, penelitian teks drama tidaklah sekadar mencari tema dan amanat, tetapi mengungkapkan misteri kehidupan manusia yang dirasakan pengarang. Untuk itu lupakanlah pendangkalan apresiasi sastra dengan hanya pencarian tema dan amanat.













BAB III
METODE PENELITIAN


3.1      Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif dalam sudut pandang penelitian kepustakaan. Dikatakan deskriptif kualitatif karena penelitian ini, penulis mendeskripsikan data yang  dianalisis berupa nilai-nilai moral dalam naskah “Kelapa Parut”  Sartono dan E.Kosnedi. Sesuai dengan kenyataan yang ditemukan dalam penelitian. Dikatakan deskriptif kualitatif karea dalam menjelaskan konsep-konsep yang berkaitan antara yang satu dengan yang lain, peneliti menggunakan kata-kata atau kalimat bukan angka-angka statistik dengan mengacu pada struktur yang benar serta menggunakan pemahaman yang mendalam. Jenis penelitian kepustakaan ini dilakukan dengan mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan naskah.

3.2         Sumber data dan data
        Data-datanya adalah kutipan-kutipan cerita yang mencerminkan nilai-nilai Sumber dan data penelitian ini adalah teks naskah “kelepa parut” adapun moral yang terkandung dalam naskah “kelepa parut”.

3.3      Instrumen penelitian
            Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrument utama atau insrumen kunci dalam pengumpulan data. Dikatakan demikian karena dalam proses penelitian, peneliti sendiri yang melakukan penelahaan terhadap cerita yang diteliti. Hal ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa dalam penelitian kualitatif keberhasilannya bergantung pada kemampuan kemampuan orang menggunakan alat tersebut. Dengan kata lain, peneliti yang paling menentukan keberhasialan peneliti (Ratna 2007:363) (dalam Moleong:2007).

3.4      Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan dalam penelitian ini di lakukan dengan tiga teknik yaitu:
1.    Teknik baca
Membaca dengan seksama dengan berulang-ulang
2.    Teknik infentarisasi
Mencari dan mengumpulkan sejumlah data dan naskah dari buku-buku dan kumpulan naskah.
3.    Teknik pencatatan
Setelah baca simak, inventarisasi, hasil yang diperoleh dicatat dan dipilah-pilah satu persatu.

3.5         Teknik Analisis Data
Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam menganalisis data adalah melakukan pembacaan secara berulang-ulang terhadap teks naskah, menandai setiap data yang mengandung nilai moral (pemodean data), seluruh data yang diperoleh dari hasil pembacaan dan pengodean dipilah berdasrkan objek penelitian, dan data yang telah dipilah-pilah dideskripsikan sebagai mana adanya dan disusun dalam bentuk laporan. Analisis menurut Sangidu (2005:73) bertujuan menyederhanakan dalam bentuk yang lebih mudah dibaca diinterprestasikan.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1   Hasil Penelitian
Buku yang menjadi sumber penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Nama penulis                                   : Sartono dan E. Kosnedi
b. Penerbit dan tahun terbit   : PT. ARMANDELTA SELARAS Tahun 2004
c. Jenjang/ kelas                                  : SD/ Lima
d. Semester                                           : 1 dan 2
Jumlah naskah drama pada jenjang pendidikan SD
a. Kelas 1 : -
b. Kelas 2 : -
c. Kelas 3 : -
d. Kelas 4 : -
e. Kelas 5 : 1 Naskah
f.  Kelas 6 : -
Teks naskah drama adalah sebagai berikut:
Waktu hari minggu Haris di suruh oleh ibunya membeli kelapa parut di pasar yang dekat dengan tempat tinggal mereka.
01.    Ibu                         :Haris, tolong belikan kelapa parut di pasar. Ibu   tanggung sedang menggoreng!
02.  Haris                     : Ya, Bu!

Setelah diberi uang Haris segera berangkat ke pasar. Namun baru beberapa langkah meniggalkan pekarangan rumah, Haris baru sadar kalau dia belum tahu tempat penjual kelapa parut. Haris berputar-putar mencari tempat penjual kelapa parut, tapi tidak juga ditemukan. Haris memutuskan untuk kembali lagi menanyakantempat penjual kelapa tersebut.
 03.Haris                      : Ya, ampun …saya tidak tahu tempatnya. Mestinya saya tanyakan   dulu  pada   Riska! Dia pasti tahu. (Sambil kembali lagi dan  menemui adiknya)
04. Riska                    :Dapat, kak kelapanya ?
05.Haris                      :Dapat bagaimana, tempatnya juga tidak tahu     (Sambil membentak adiknya). Ibu mana?
06. Riska                     : Lagi ke warung. Saya tahu, Kak tempatnya. Mau saya antar?
07. Haris                      : Nggak mau, biar nanya saja dulu sama Ibu! (kata              Haris sambil  pergi)
08.Riska                      : dasar pemarah, ditolong tidak mau. Biarin repot sendiri!

Setelah Haris menemui Ibunya, Haris disuruh minta antar sama adiknya karena Riska sudah sering dibawa belanja oleh Ibu.
09. Haris                      :Ris, cepat antar kakak! Ibu menyuruhmu   mengantar!
10.Riska                      :Ya, sudah. Kalau dari tadi kan sudah sampai di pasar.

Akhirnya mereka pergi menuju pasar untuk membeli kelapa   parut.

4.2 Pembahasan
            Analisis naskah drama diawali dengan tokoh, peran dan karakter , motif, korflik, peristiwa dan alur, latar dan ruang, penggarapan bahasa , tema dan amanat.

1.    Tokoh, peran, dan karakter
Tokoh, peran dan karakter dalam naskah ini diuraikan secara rinci sebagai berikut.
1)  Tokoh
Tokoh dalam naskah drama ini terdiri dari 3 orang  yaitu: 1) Ibu, 2) Haris, dan 3) Riska.
Uraian rinci mengenai tokoh-tokoh tersebut adalah sebagai berikut:
-       Tokoh Ibu dalam naskah ini tidak dijelaskan sercara intrinsik tetapi menurut dugaan penulis tokoh ibu dalam naskah ini adalah seorang perempuan yang berusia 32 tahun dan memiliki 2 orang anak, dan sebagai seorang ibu rumah tangga yang baik hal ini didukung oleh dialog sebagai berikut:
“Ibu         : Haris, tolong belikan kelapa parut dipasar, ibu tanggung    sedang menggoreng.”
-       Tokoh Haris dalam naskah ini tidak dijelaskan secara intrinsik tetapi menurut penulis tokoh haris adalah seorang anak yang berusia 12 tahun dan memiliki sifat yang rajin hal ini didukung oleh dialog sebagai berikut.
“Ibu                        : haris, tolong belikan kelapa parut dipasar, ibu tanggung sedang menggoreng.
Haris          : ya, bu!”

-       Tokoh riska dalam naskah ini tidak dijelaskan secara intrinsik tetapi menurut dugaan penulis tokoh riska adalah seorang anak yang berusia 10 tahun dan memiliki sifat baik hati, penolong dan sifat perhatian hal ini didukung oleh dialog sebagai berikut.
“Riska        : dapat, kak kelapanya ?
Haris          :dapat bagaimana, tempatnya juga tidak tahu (sambil         membentak adiknya ). Ibu mana?
Riska         : lagi kewarung, saya tahu, kak tempatnya mau saya antar?”


2)  Peran
Tokoh dalam makalah ini memiliki peran yang berbeda-beda Ibu berperan sebagai ibu rumah tangga yang sibuk, suka menyuruh anaknya untuk membantunya, sementara Haris berperan sebagai anak yang rajin dan sebagai seorang kakak yang agak pemarah. Dan Riska berperan sebagai anak yang baik, penolong dan perhatian.
-       Adapun dialog yang mendukung peran Ibuadalah sebagai berikut :
“Ibu                   : haris, tolong belikan kelapa parut dipasar, ibu tanggung  sedang menggoreng.

-       Adapun dialog yang  mendukung peran Haris yaitu :
“Ibu       : haris, tolong belikan kelapa parut dipasar, ibu tanggung  sedang menggoreng.
Haris     : ya, bu!”
-       Adapun dialog yang mendukung peran Riska yaitu :
“Riska       : dapat, kak kelapanya ?
Haris         : dapat bagaimana, tempatnya juga tidak tahu (sambil         membentak adiknya ). Ibu mana?
Riska         : lagi kewarung, saya tahu, kak tempatnya mau saya antar?”

3)  Karakter
Adapun karakter Ibu,Haris dan Riska dalam naskah ini adalah sebagai berikut :
-  Karakter Ibu tritagonis adapun dialog pendukungnya.
“Ibu          :Haris, tolong belikan kelapa parut dipasar, ibu tanggung sedang menggoreng.

-  Karakter Haris tritagonis adapun dialog pendukungnya.
“Ibu          : Haris, tolong belikan kelapa parut dipasar, ibu tanggung sedang menggoreng.
 Haris        : ya, bu!”
“Riska       : dapat, kak kelapanya ?
Haris        : dapat bagaimana, tempatnya juga tidak tahu (sambil         membentak adiknya ). Ibu mana?

-Karakter Riska protagonis adapun dialog pendukungnya.
“Riska       : dapat, kak kelapanya ?
Haris        : dapat bagaimana, tempatnya juga tidak tahu (sambil          membentak adiknya ). Ibu mana?
Riska       : lagi kewarung, saya tahu, kak tempatnya mau saya antar?”


2.     Motif, konflik , peristiwa dan alur.
                           Motif, konlik , peristiwa dan alur dalam naskah ini di awali dengan rentetan peristiwa.

a)     Rentetan Peristiwa
         Adapun rentetan peristiwa dalam naskah ini  adalah sebagai berikut:
1. Perintah/permintaan Ibu kepada Haris.
2. Tanggapan Haris.
3. Ketidaktahuan Haris tempat penjual kelapa parut.
4. Pertanyaan Riska.
5. Tanggapan/ bentakan haris terhadap Riska.
6. Pertanyaan Haris.
7. Jawaban/tawaran Riska.
8. Tanggapan Riska.
9. Permintaan Haris terhadap Riska.
10. Tanggapan Riska.

Berdasarkan rentetan peristiwa di atas, maka diuraikan peristiwa yang terjadi dalam  naskah.
Peristiwa bermula dari perintah ibu pada haris agar membelikan kelapa parut di pasar peristiwa itu berlanjut dengan tanggapan haris pada ibu, berikutnya adalah haris sadar bahwa dia tidak mengetahui tempat penjualan kelapa parut peristiwa ini berlannjut dengan pertanyaan riska setelah itu berlanjut pada pertanyaan riska selanjutnya tanggapan haris kemudian riska mengajukan penawaran peristiwa selanjutnya penolakan haris kemudian tanggapan riska.

b)     Konflik
Berdasarkan rentetan peristiwa di atas, ditemukan konflik dalam naskah ini yaitu konflik yang terjadi antara Haris dan Riska. Hal tersebut dibuktikan dengan kutipan berikut ini:
05. Riska              :Dapat, kak kelapanya ?
 05.Haris                :Dapat bagaimana, tempatnya juga tidak tahu      (Sambil membentak adiknya). Ibu mana?
 06. Riska               : Lagi ke warung. Saya tahu, Kak tempatnya. Mau saya antar?
 07. Haris                : Nggak mau, biar nanya saja dulu sama Ibu! (kata              Haris sambil  pergi)
 08.Riska                : dasar pemarah, ditolong tidak mau. Biarin repot sendiri!

Kutipan di atas sudah cukup jelas, bahwa telah terjadi konflik antara Haris dan Riska.

c)     Motif
Berdasarkan konflik di atas terdapat satu motif yaitu :
“Haris kesal karena sudah berputar-putar di pasar tetapi dia tidak menemukan penjual kelapa parut. Kemudian sepulangnya  dari  pasar Riska langsung  bertanya dan Haris pun membentak Riska.”
Dari konflik dan motif dalam naskah drama ini adapun solusinya yaitu seharusnya sebelum Haris melakukan sesuatu sebaiknya melakukan pertanyaan dahulu agar tidak berputar-putar di pasar. Agar mudah untuk mendapatkan apa yang disuruhkan Ibunya, dan seharusnya Riska pun tidak perlu melakukan pertanyaan terhadap Haris. Adapun dialog pendukungnya adalah sebagai berikut:
Haris : Ya, ampun …saya tidak tahu tempatnya. Mestinya saya tanyakan   dulu  pada   Riska! Dia pasti tahu. (Sambil kembali lagi dan  menemui adiknya)
Riska : Dapat, kak kelapanya ?
Haris : Dapat bagaimana, tempatnya juga tidak tahu (Sambil membentak adiknya). Ibu mana?
Riska :Lagi ke warung. Saya tahu, Kak tempatnya. Mau  saya antar?
     Haris : Nggak mau, biar nanya saja dulu sama Ibu! (kata              Haris sambil  pergi).


d)     Alur
Berdasarkan rentetan peristiwa, motif dan konflik pada naskah ini alurnya adalah alur maju. Alular maju dalam naskah ini adalah sebagai berikut:
Peristiwa bermula dari perintah ibu pada haris agar membelikan kelapa parut di pasar peristiwa itu berlanjut dengan tanggapan haris pada ibu, berikutnya adalah haris sadar bahwa dia tidak mengetahui tempat penjualan kelapa parut peristiwa ini berlannjut dengan pertanyaan riska setelah itu berlanjut pada pertanyaan riska selanjutnya tanggapan haris kemudian riska mengajukan penawaran peristiwa selanjutnya penolakan haris kemudian tanggapan riska.

3.  Latar dan Ruang
Latar dan ruang dalam naskah drama ini yaitu di dalam sebuah rumah karena didukung oleh alat-alat dapur yang digunakan oleh Ibu haris untuk menggoreng. Latar berikutnya yaitu pasar dan warung. Latar dalam naskah ini didukung oleh dialog sebagai berikut:
“Ibu : Haris, tolong belikan kelapa parut dipasar, ibu tanggung sedang menggoreng.
  Haris : ya, bu!”
Setelah diberi uang Haris segera berangkat ke pasar.
Riska : Dapat, kak kelapanya ?
Haris : Dapat bagaimana, tempatnya juga tidak tahu (Sambil membentak adiknya). Ibu mana?
 Riska : Lagi ke warung. Saya tahu, Kak tempatnya. Mau saya antar?

Ruang yang terjadi dalam naskah ini pada waktu hari minggu karena  didukung oleh petunjuk pementasan yaitu:
“waktu hari minggu Haris disuruh Ibunya membeli kelapa parut di pasar yang dekat dengan tempat tinggal mereka” dan menurut dugaan penulis peristiwa ini terjadi pada siang hari.

4.     Penggarapan Bahasa
Penggarapan bahasa dalam naskah  drama ini menggunakan bahasa yang serius sedemikian dengan tragedi identik dengan nasib malang yang ditimpa oleh Haris dan Riska. Berdasarkan hal itu maka ciri bahasa tragedi dalam naskah ini adalah keadaan yang menimpa Haris berputar-putar mencari tempat penjual kelapa parut tetapi tidak juga ditemukannya, dan Riska yang  dibentak oleh Haris. Gaya bahasa tragedy didukung oleh dialog sebagai berikut:
Haris : Ya, ampun …saya tidak tahu tempatnya. Mestinya saya tanyakan   dulu  pada   Riska! Dia pasti tahu. (Sambil kembali lagi dan  menemui adiknya)
Riska : Dapat, kak kelapanya ?
Haris : Dapat bagaimana, tempatnya juga tidak tahu (Sambil membentak adiknya). Ibu mana?
 Riska :Lagi ke warung. Saya tahu, Kak tempatnya. Mau saya antar?


5.  Tema dan Amanat
Adapun tema yang ada dalam naskah ini yaitu kelapa parut dan amanat yang ada dalam naskah ini, yaitu sebelum melakukan sesuatu yang tidak diketahui sebaiknya bertanya terlebih dahulu.

















BAB V
PENUTUP

5.1  Simpulan
Berdasarkan analisis yang saya lakukan pada naskah “kelapa parut” Karya Sartono dan E. Kosnedi merupakan jenis naskah tragedi, karena Haris membentak adiknya ketika adiknya bertanya kepadanya mengenai, apakah ada kelapa parut yang haris beli atau tidak. Jumlah tokoh yang terdapat dalam naskah tersebut ada tiga, di antaranya: 1) ibu, 2) Haris, dan 3) Riska. Ibu berperan sebagai ibu rumah tangga yang sibuk, suka menyuruh anaknya untuk membantunya, sementara Haris berperan sebagai anak yang rajin dan sebagai seorang kakak yang agak pemarah. Dan Riska berperan sebagai anak yang baik, penolong dan perhatian. Adapu karakter yang dimiliki seorang ibu tritagonis. Karakter Haris tritagonis, karena dia memiliki dua peran dalam cerita tersebut. Peran pertama, dia sebagai anak yang rajin dan anak yang agak pemarah. Sementara Riska memiliki karakter protagonis, sebab riska adalah seorang anak yang baik, penolong, dan perhatian terhadap kakanya.
Adapun konflik yang terjadi dalam naskah tersebut, yaitu ketika Haris membentak Riska. Adapun motifnya, yaitu berawal ketika Haris kesal karena sudah berputar-putar di pasar tetapi dia tidak menemukan penjual kelapa parut. Kemudian sepulangnya  dari  pasar Riska langsung  bertanya dan Haris pun membentak Riska.
. Adapun alur yang terdapat dalam naskah ini, yaitu alur maju. Sebab peristiwa bermula dari perintah ibu pada haris agar membelikan kelapa parut di pasar peristiwa itu berlanjut dengan tanggapan haris pada ibu, berikutnya adalah haris sadar bahwa dia tidak mengetahui tempat penjualan kelapa parut peristiwa ini berlannjut dengan pertanyaan riska setelah itu berlanjut pada pertanyaan riska selanjutnya tanggapan haris kemudian riska mengajukan penawaran peristiwa selanjutnya penolakan haris kemudian tanggapan riska. Latar dalam naskah drama ini yaitu di dalam sebuah rumah karena didukung oleh alat-alat dapur yang digunakan oleh Ibu haris untuk menggoreng. Latar berikutnya yaitu pasar dan warung. Sementara ruang yang terdapat dalam naskah tersebut, yaitu terjadi pada minggu siang. Adapun gaya bahasa yang digunakan, yaitu gaya bahasa serius atau tragedi, dan tema yang ada dalam cerita tersebut, bertemakan kelapa parut dan amanat yang ada dalam naskah ini yaitu sebelum melakukan sesuatu yang tidak diketahui sebaiknya bertanya terlebih dahulu.
5.2  Saran

Adapun saran yang dapat saya sampaikan, yaitu ketika seseorang menyuruh kita untuk melakukan sesuatu, sebaiknya kita harus betul-betul mengetahuinya dengan jelas. sebab ketika kita tidak mengetahuinya, maka kita akan bingung untuk melakukan apa yang akan kita kerjakan.
Semoga dengan adanya makalah ini, kiranya dapat memberikan sedikit pengetahuan tentang analisis naskah drama dengan cara mengacu pada tata cara pembuatan karya ilmiah (skripsi). Tapi jangan hanya mengacu pada makalah ini saja, karena  masih banyak makalah-makalah lain yang bisa dijadikan contoh dalam pembuatan sebuah karya ilmiah (skripsi).
Akhir kata tulus dari hati, saya ucapkan terima kasih. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu.






DAFTAR PUSTAKA

Albert, Brother. 1961. English Art and Skills Grade. New York: the Machmilan Co.

Brahim. 1960. Drama dalam Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung.
Djajahkusumah, D. 1968. Menyelenggarakan Pementasan Drama dalam Buku Pekan Seni Drama. Jakarta: DCI Djaja.

Effendi, Rustam. 1953. Bebasari. Jakarta: Fasco.

Ensiclopedia Britania. 1961. London: Cicago Toronto.
Hasanuddin. 1996. Drama, Karya dalam Dua Dimensi. Bandung: Angkasa.

Ismail, Umar. 1968. Beberapa Segi dalam Memenuhi Hasrat para Peminat Seni Peran dalam Buku Pekan Seni Drama. Jakarta; DCI Djaja.

Mohammad Gunawan. 1968. Teater dan Publiknya dalam Buku Pekan Seni Drama. Jakarta: DCI Djaja.

Morries, Alton. 1964. College English. New York: Harcourt Brace World Inc.

Raffie, Dahlan. 1957. Si Muka Jelek dalam Majalah Indonesia. Jakarta: BMKN.

Samim, Mansur. 1959. Bahana Lautan Malam dalam Majalah Indonesia. Jakarta: BMKN.

Shakespeare, Willaiam. 1952. Mana Suka (Terjemahan Trisno Sumardjo). Jakarta: Balai Pustaka.

Slametmulyana, R.B. 1951. Bimbingan Seni Sastra. Jakarta: J.B, Wolters.
Sastrawondho. Sumantri. 1968. Drama sebagai Media Pendidikan Anak-Anak dalam Buku Pekan Seni Drama. Jakarta: DCI Daja.

Tarigan, H.G. 1969. Beberapa Petunjuk untuk Mengarang.



DAFTAR LAMPIRAN

Waktu hari minggu Haris di suruh oleh ibunya membeli kelapa parut di pasar yang dekat dengan tempat tinggal mereka.
03.    Ibu                         :Haris, tolong belikan kelapa parut di pasar. Ibu   tanggung sedang menggoreng!
04.  Haris                     : Ya, Bu!
Setelah diberi uang Haris segera berangkat ke pasar. Namun baru beberapa langkah meniggalkan pekarangan rumah, Haris baru sadar kalau dia belum tahu tempat penjual kelapa parut. Haris berputar-putar mencari tempat penjual kelapa parut, tapi tidak juga ditemukan. Haris memutuskan untuk kembali lagi menanyakan tempat penjual kelapa tersebut.
 03.Haris                      : Ya, ampun …saya tidak tahu tempatnya. Mestinya saya tanyakan   dulu  pada   Riska! Dia pasti tahu. (Sambil kembali lagi dan  menemui adiknya)
06. Riska                    :Dapat, kak kelapanya ?
05.Haris                      :Dapat bagaimana, tempatnya juga tidak tahu     (Sambil membentak adiknya). Ibu mana?
06. Riska                     : Lagi ke warung. Saya tahu, Kak tempatnya. Mau saya antar?
07. Haris                      : Nggak mau, biar nanya saja dulu sama Ibu! (kata              Haris sambil  pergi)
08.Riska                      : dasar pemarah, ditolong tidak mau. Biarin repot sendiri!

Setelah Haris menemui Ibunya, Haris disuruh minta antar sama adiknya karena Riska sudah sering dibawa belanja oleh Ibu.
09. Haris                      :Ris, cepat antar kakak! Ibu menyuruhmu   mengantar!
10.Riska                      :Ya, sudah. Kalau dari tadi kan sudah sampai di pasar.
Akhirnya mereka pergi menuju pasar untuk membeli kelapa   parut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar